Esports memang sering mengalami krisis identitas, apakah ia lebih baik disebut sebagai olahraga, atau hiburan? Salah satu alasan esports bisa disandingkan sebagai olahraga, tentu hal ini terletak pada poin dimana sang atlet esports harus menginvestasikan waktu dan raganya demi performa terbaik.
Sementara itu, menonton esports juga turut menghibur apalagi dengan segala unsur fantasi naga dan sihir yang ada. Hal ini juga bisa memposisikannya sebagai hiburan. Di antara keduanya, krisis identitas serupa juga bisa dijumpai bisnis pergulatan WWE (World Wrestling Entertainment).
Mari kita bandingkan esports dengan WWE!
Sekilas tentang WWE
WWE mendeklarasikan dirinya sebagai perusahaan media terintegrasi dan diakui dalam hiburan global. WWE berfokus pada 3 kegiatan bisnis: media, live show, dan produk konsumen.
Deskripsi tersebut cukup mirip dengan turnamen esports papan atas. Meskipun tim esports bukanlah pihak yang menyelenggarakan turnamen, operasinya sejalan dengan mereka, mengingat mereka akan pergi ke seluruh dunia untuk bertanding.
Hari ini WWE sudah menjadi sebuah perusahaan terbuka dan memiliki kinerja yang cukup baik selama beberapa tahun terakhir.
Bisa dibilang bahwa mereka sudah membangun branding yang kuat dengan ketiga pilar bisnis mereka. Esports tentunya bisa mempelajari satu atau dua hal dari WWE.
Upaya WWE memasuki dunia gaming
- UpUpDownDown (UUDD): Pada 2015, Austin Watson, atau yang lebih dikenal dengan nama panggung WWE-nya Xavier Woods, meluncurkan saluran permainan di YouTube , di mana kita dapat melihat para pegulat WWE saling bersaing dalam video game untuk kejuaraan UpUpDownDown.
- Investasi Tim: Pada bulan Oktober 2017, tim esports profesional Cloud9 mendapatkan investasi 25 juta dolar Amerika. Tidak semua orang tahu bahwa WWE adalah bagian dari investasi ini untuk masuk ke dalam bisnis tim esports.
- WWE x IGN eSports Showdown: Di tahun 2017, WWE bermitra dengan IGN untuk membuat WWE x eSports Showdown, dimana para bintang WWE akan benar-benar saling melawan satu sama lain secara virtual. Showdown memenangkan Games Event of the Year di MCV Awards pada tahun 2018. Hal ini juga membantu WWE untuk masuk ke dunia esports.
- UUDD x League of Legends: Pada tahun 2018, WWE bekerja sama dengan Riot Games untuk mengadu bintang-bintang WWE dalam gim League of Legends.
- WWE Universe: Pada Mei 2019, WWE merilis game mobile-nya, WWE Universe untuk perangkat iOS dan Android.
- Superstar Gaming League: Pada November 2019, Wrestling Inc. melaporkan bahwa WWE membuat merek dagang WWE SGLdan Superstar Gaming League.
Kemampuan WWE dalam memproduksi siaran langsung
Menurut situsnya sendiri, WWE memproduksi sekitar 530 acara langsung dalam setahun di Amerika Serikat dan luar negeri dan mengadakan total 120 acara pada kuartal ketiga 2019.
Pertunjukan live mingguannya meliputi Monday Night RAW, Friday Night SmackDown, NXT, dan 205 Live.
Sebagai perbandingan, platform streaming Twitch menghasilkan 161 turnamen melalui Twitch Rivals dalam 102 hari.
Ini menunjukkan bahwa ada pertunjukan turnamen setiap 3,6 hari sepanjang tahun. Secara teknis, ini menjadikan Twitch sebagai salah satu penyelenggara turnamen esports.
Pertunjukan WWE sendiri mengharuskan mereka untuk terus berkeliling kota setiap minggunya. Hal ini cukup kompleks dari sudut pandang logistik. Kualitas acara yang sebanding dengan kuantitas dalam cakupan global jelas merupakan sebuah tantangan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, manajemen waktu sudah pasti penting, namun yang tidak kalah penting adalah akses terhadap teknologi yang tepat, tenaga kerja yang berkemampuan tinggi, dan mitra di pasar lokal.
Pertunjukan WWE sudah direncanakan terlebih dahulu selama bertahun-tahun, sementara esports masih sedang membentuk dirinya. Dalam hal ini, esports bisa meniru konsep manajemen WWE.
Di esports, penyelenggaraan turnamen sangat membutuhkan infrastruktur yang besar.
Berbeda dengan WWE yang hanya mengakomodir beberapa orang saja di atas panggung, esports terkadang harus memperhitungkan keberadaan 100 pemain langsung di atas panggung untuk genre seperti battle royale.
Esports juga memiliki kompleksitas yang lebih tinggi mengingat ia juga harus menghadirkan sarana komputer beserta jaringan internetnya.
Kunci kesuksesan: ceritakan kisah perjalanan seorang karakter hingga menjadi superstar
Dari sudut pandang komersil, WWE tentu hanya seperti suatu opera sabun yang memberikan cerita palsu mengenai latar belakang para pegulatnya. Namun, terlepas dari kualitas cerita dan juga kemampuan acting para pegulatnya, mereka memiliki cara tersendiri dalam mengomunikasikannya di media sosial mereka yang kini mencapai 1 miliar pengikut.
Sejatinya, banyak penontonnya yang sudah tahu bahwa cerita tersebut telah banyak dimodifikasi, namun cerita tersebut tetap mendapat engagement dengan penggemarnya.
Kisah tersebut adalah suatu jenis hiburan tersendiri dan orang-orang ingin turut menjadi bagian darinya. Karakter seorang atlet memang hanya ‘ditulis’, tapi yang penting adalah bagaimana kisah mereka disampaikan.
Dalam esports, tim esports juga memanfaatkan media sosial sebagai sarana komunikasi utama dengan para penggemarnya.
WWE membangun superstar. Beberapa alumninya ada yang berpindah industri, seperti menjadi aktor atau penyanyi, dan beberapa tetap setia di dalam ring.
Superstar WWE tidak hanya menjalani latihan fisik di tempat kerja, tetapi mereka juga mendapatkan pelatihan media untuk melakukan pekerjaan mereka di luar ring. Mereka memiliki pabrik talent!
Fasilitas mereka tidak hanya terdiri dari ruang fitness, tetapi juga ruang khusus untuk belajar berada di depan kamera, ruang konferensi, ruang medis, dan juga ruang khusus untuk membuat konten di media sosial.
Beberapa tim esports juga sudah melakukan hal serupa, atau paling tidak ingin memulainya. Fasilitas ini sangatlah berharga untuk tim esports menjadi profesional baik dari segi brand dan juga konten.
Cara monetisasi WWE
WWE memiliki hak penuh atas semua talent-nya. Para talent tersebut dikelola dan penghasilan yang diterima talent bergantung pada jumlah pendapatan yang dihasilkan. Penghasilan WWE juga berasal dari program lisensi penjualan consumer goods, seperti merchandise, mainan, video game, buku, barang koleksi, dan masih banyak lagi.
Produk berlisensi WWE bisa didapatkan di semua pengecer besar, seperti: Walmart, Amazon, GameStop, Barnes & Noble, dan lainnya.
Kunci utama kesuksesan WWE sebenarnya terletak pada popularitas superstar-nya yang terus-menerus berkembang.
Bila disederhanakan prosesnya, WWE berperan untuk mengembangkan citra talent beserta alur cerita yang menarik, kemudian berkeliling Amerika dan dunia dengan pertunjukannya, dan memonetisasi semua peluang yang ada.
Di 2018, WWE menghasilkan pendapatan total sebesar 930 juta dolar Amerika. Jika kita melihat bagaimana pendapatan itu dihasilkan, kita akan menemukan sekitar 147 juta dolar dihasilkan melalui acara langsung dan produk konsumen.
Dalam laporan keuangannya, WWE mencantumkan hampir 84% dari pendapatannya, sekitar 683 juta dolar dihasilkan melalui media.
Hal ini menunjukkan bahwa konten adalah raja; dengan catatan konten yang dibuat haruslah ‘seksi’ di mata audiens.
Sebelumnya, di tahun 2014, WWE meluncurkan WWE Network sebagai bagian dari operasional medianya. Jaringan ini digunakan terutama untuk jenis acara berbayar per tayangan dan juga konten orisinil yang dibuat sebelumnya, seperti podcast, dokumenter, dan lainnya.
Grafik di bawah ini akan memberi gambaran tentang basis pelanggan WWE (rata-rata triwulanan). Dibanderol dengan harga layanan $9.99, bisa dibayangkan berapa potensi pendapatan yang dimilikinya.
Selain memonetisasi konten melalui jaringannya sendiri, hak media adalah sumber pendapatan lain. Acara seperti Monday Night RAW dan Friday Night SmackDown saat ini hanya disiarkan di USA Network dan Fox Sports.
Kedua jaringan tersebut setuju untuk membayar WWE dengan nilai 2,35 miliar dolar selama lima tahun. Kesepakatan bisnis ini masih hanya untuk pasar Amerika. Pertunjukan WWE juga disiarkan di negara lain, seperti Jerman.
Ada banyak cara bagaimana WWE memonetisasi kontennya. Salah satunya adalah mengintegrasikan brand client dengan talent WWE. Sebut saja Alexa Bliss yang mengenakan kostum Buzz Lightyear selama Summer Slam pada bulan Agustus 2019 untuk mempromosikan Toy Story 4 yang dirilis di bulan Juni.
WWE juga memonetisasi di industri musik, sama seperti esports. Untuk WWE musik adalah bagian penting dan emosional dari tayangannya.
Mulai dari Triple H bekerja sama dengan Motorhead; Killswitch Engage; musik baru saat masuk panggung Shinsuke Nakamura; “Shadows of a Setting Sun” oleh Shadows of The Sun; hingga musik baru saat masuk pintu Sasha Banks yang menampilkan Snoop Dogg. Dengan integrasi musiknya, WWE menyajikan beragam genre musik dari hip-hop hingga metal yang nantinya bisa diunduh di berbagai platform digital.
Masih ada lagi strategi monetisasi WWE atas banyaknya peluangnya berpotensi. Bayangkan saja bagaimana hasilnya jika WWE dengan pengetahuan monetisasi ini tiba-tiba masuk ke dalam esports dan membangun cerita para atlet esports hingga mereka menjadi superstar.
Memberi ruang bagi para perempuan
WWE dulunya memiliki rasio pria dan wanita sebesar 4 banding 1 dan kini rasionya adalah 2 banding 1. Ini adalah sebuah langkah kemajuan bagaimana WWE mendorong divisi perempuannya.
Pertunjukan reguler WrestleMania 35 di 2019, untuk pertama kalinya, menampilkan acara utama khusus wanita di Stadion MetLife di New Jersey.
Pada bulan November 2019, dalam acara utama WWE Crown Jewel di Arab Saudi, WWE menjadi tuan rumah pertandingan gulat wanita pertama di negara itu. Lagi-lagi ini adalah sebuah pencapaian yang besar dan menyentuh bagi para penonton dan juga atlet yang terlibat.
Tidak perlu dipungkiri lagi bahwa dunia permainan dan juga olahraga harus belajar dari WWE untuk bisa memberi ruang aktualisasi diri bagi perempuan.
Penutup
Model bisnis utama WWE berfokus pada media, acara langsung, dan juga barang-barang konsumen.
Tiga unit bisnis ini sangat dekat dengan apa yang saat ini kita lihat di esports. WWE telah membuktikan bahwa mereka memahami cara membangun dan memonetisasi konten. WWE jelas memiliki potensi besar dalam esports.
Di sisi lain, WWE sudah menguasai ekosistemnya, berbeda dengan industri esports yang masih sangat terpecah.
Para penerbit gim memiliki kontrol atas permainan dan juga turnamen. Polanya cukup simpel, dimana mereka bisa menjadi pihak yang menjalankan turnamen tersebut atau meminta pihak ketiga untuk menjalankannya. Turnamen yang digelar juga bisa dibuat menjadi terbuka ataupun tertutup tergantung pada keinginan sang penguasa.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah dimodifikasi oleh penulis sesuai dengan standar editorial Esportsnesia; Disunting oleh Satya Kevino; Sumber: The Esports Observer)