Pantaskah Esports Menjadi Cabang Olahraga di Olimpiade?

3511
Pantaskah Esports Menjadi Cabang Olahraga di Olimpiade? | Esportsnesia.com

Gaung kehadiran esports sebagai cabang olahraga dalam Olimpiade semakin besar setelah esports masuk sebagai cabor yang didemonstrasikan pada Asian Games 2018 di Indonesia. Terlebih lagi, diskusi antara Alisports dengan Olympics Council of Asia (OCA) melahirkan keputusan bahwa esports akan masuk sebagai cabang olahraga medali dalam Asian Games tahun 2022 di Hangzhou, Tiongkok.

Sejauh ini, kabar kehadiran esports dalam Olimpiade 2024 di Paris sudah mulai menunjukkan sinyal positif. Perkembangan pesat industri esports turut menguatkan pertimbangan co-president dari Paris Olympic Bid, Tony Estanguate, untuk mengajukan kepada International Olympics Committee (IOC) agar memasukkan esports sebagai cabang olahraga baru yang akan diperlombakan pada Olimpiade 2024 Paris.

Untuk dapat tetap relevan di generasi muda, IOC mulai membuka kesempatan bagi olahraga popular masa kini untuk masuk sebagai cabang olahraga Olimpiade. IOC bahkan telah menambahkan 5 cabang olahraga baru untuk diperlombakan pada Olimpiade 2020 di Tokyo. Olahraga seperti baseball/softball, karate, skateboarding, sports climbing dan surfing juga ditambahkan dengan harapan dapat membangkitan semangat partisipasi dan popularitas Olimpiade di kalangan kawula muda.

Apa saja pertimbangan yang ada dalam menjadikan esports sebagai salah satu cabang olahraga Olimpiade?

Pertimbangan untuk menerima esports

Pertimbangan untuk menerima esports
Sumber gambar: unsplash.com

Menurut Thomas Bach sendiri, Komite Olimpiade Internasional adalah sebuah organisasi yang berbasis peraturan, sehingga kegiatan aktivitas fisik saja tidak cukup untuk dapat diakui sebagai bagian dari Olimpiade. Olahraga yang ingin menjadi bagian dari Olimpiade harus popular dan memiliki federasi yang menaunginya.

Federasi tersebut kemudian harus sejalan dengan prinsip dan nilai Olimpiade serta mengikuti aturan IOC. Terutama aturan yang berkaitan dengan masalah doping, matches-fixing, dan taruhan.

Dalam hal popularitas, esports tentunya sudah tidak diragukan lagi. Penghasilan yang didapatkan dari industri esports terus meningkat yakni £400m pada tahun 2016 dengan 320 juta penonton, sedangkan di tahun 2017 pendapatan yang diperoleh mencapai £565m dengan 385 juta penonton.

Walaupun tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa seiring dengan meningkatnya popularitas esports dan jumlah hadiah yang dapat dimenangkan, atlet esports mulai mencoba berbagai cara untuk dapat memenangkan pertandingan.

Penggunaan obat pada perlombaan esports
Sumber gambar: Unsplash.com

Bila pada olahraga tradisional popular dengan penggunaan PED (performance enhancing drug) yang dapat meningkatkan stamina, maka obat-obatan yang popular di kalangan atlet esports adalah yang dapat meningkatkan konsentrasi dan refleks, seperti Adderal dan Ritalin.

ESL (Electronic Sport League), organisasi turnamen game terbesar di dunia, mendaftarkan beberapa obat-obatan yang dilarang dalam kompetisi esport kepada WADA (World Anti-Doping Agency) dan NADA (National Anti-Doping Agency). Bila ada peserta yang menggunakan obat-obatan tersebut tanpa indikasi medis, maka akan dikurangi poin ataupun hadiah, didiskualifikasi, hingga dilarang mengikuti turnamen yang diadakan oleh ESL selama 2 tahun.

Pertimbangan untuk tidak memasukkan esports sebagai cabang olahraga Olimpiade.

Debat tentang apakah esports adalah olahraga biasanya selalu mengarah ke minimnya aktifitas fisik dalam esports. Namun ternyata yang menjadi pertimbangan Komite Olimpiade Internasional untuk tidak memasukkan esports sebagai cabang olahraga olimpiade adalah adanya konten kekerasan dalam video game yang bertentangan dengan nilai dan prinsip Olimpiade.

Pernyataan ini tentunya secara tidak langsung menghalangi keikutsertaan DotA 2, League of Legends, Call of Duty  dan game bermuatan kekerasan lainnya dalam Olimpiade. Pernyataan ini sebenarnya terkesan lucu, sebab olahraga tradisional yang biasa diperlombakan di Olimpiade seperti boxing, taekwondo, karate, dan judo juga mengandung elemen kekerasan.

Surfing sebagai cabang olahraga baru dalam Olympics
Surfing sebagai cabang olahraga baru dalam Olympics (Sumber gambar: pixabay.com)

Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah keberadaan sektor privat dalam esports. Video game yang dimainkan adalah milik game developer dan memiliki hak ciptanya sendiri. Game yang digunakan sebagai platform pun akan terus-menerus mengalami perubahan dan perbaikan untuk meningkatkan kualitas permainan.

Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh game developer terhadap game yang mereka luncurkan tidak bisa diintervensi oleh federasi yang menaunginya. Sehingga akan sulit untuk menetapkan peraturan permainan yang baku layaknya aturan pada olahraga tradisional.

Namun hal ini seharusnya tidak menjadi masalah karena setiap game developer memiliki aturan permainan sendiri yang tentunya tetap menjunjung tinggi fairplay dalam setiap kompetisi.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, menurut kamu apakah esports seharusnya menjadi cabang olahraga di Olimpiade?

banner iklan esportsnesia
Previous articleEsports dan Hak Kekayaan Intelektual
Next articleMengenal PES Seragon Community
Seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat muda yang memiliki hobi membaca dan menulis, menyukai hal-hal yang ‘unyu’, bercita-cita untuk hidup sehat dan berolahraga teratur, bermimpi menjadi bagian dari organisasi kemanusiaan dunia yang pada akhirnya terjebak di dunia tulis menulis seputar esports. Wanita Indonesia melankolis yang belakangan ini suka mendegarkan lagu random di SoundCloud. Playlist-nya tentu aja lagu dan instrumen yang bikin ‘mewek’ atau joget keliling rumah. There's no in between. "For memories I dont want to forget, for words I've no courage to say, I write."- Dwi