Dampak Negatif Covid-19 Terhadap Industri Esports – Dewasa ini esports telah berhasil mendapatkan perhatian dari sejumlah media nasional dan juga internasional atas kemampuannya beradaptasi dalam situasi pandemi Covid-19. Di saat banyak perhelatan olahraga, seperti Olympic Games, NBA, Formula 1, dan lainnya yang mengalami pelarangan, penundaan bahkan pembatalan; esports justru melakukan transisi kegiatan offline menjadi online.
Sebagai upaya untuk mengisi kekosongan kompetisi serta tetap memelihara keterikatan dengan para penggemar, sejumlah organisasi olahraga tradisional dan atlet juga turut mengubah haluan memasuki dunia streaming. Sebut saja gelaran NASCAR yang beralih menjadi eNASCAR, ajang balapan mobil elektronik yang kemudian disiarkan di televisi.
Namun sesungguhnya industri esports juga turut merasakan dampak dari fenomena ekonomi global yang dilanda COVID-19. Pada Maret kemarin, Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF), menyatakan bahwa ekonomi global telah memasuki periode resesi yang sama atau bahkan lebih buruk, bila dibandingkan dengan kelesuan ekonomi tahun 2007-2009.
Pukulan Pandemi pada Penyelenggara Acara Esports
Beberapa elemen pelaku bisnis dalam industri esports, misalnya kelompok event organizer, sangat bergantung pada pemasukan dari penjualan tiket, souvenir, hak eksklusif penyiaran media, dan sponsor.
Pendapatan semacam ini menjadi tidak pasti dan seketika hilang sebagaimana jumlah penonton kompetisi dibatasi atau dilarang. Jerman melarang seluruh kegiatan pengumpul massa hingga 31 Agustus. Kebijakan ini kemudian berdampak pada penyelenggaraan Gamescom dan ESL One Cologne.
Selain itu, sejumlah perusahaan juga harus meninjau kembali anggaran tahunan mereka guna menghemat uang sebisa mungkin, dimana pada beberapa kasus berakhir dengan pemotongan biaya pemasaran, termasuk sponsor dan kerja sama.
Sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang esports sebenarnya menjadi rentan akan dampak negatif dari krisis ekonomi ini.
Imbas Dampak Negatif Covid-19 pada Startup Esports
Industri esports masih sangatlah muda, dan atas usianya yang muda ini, tentu memiliki banyak perusahaan yang masih berada dalam tahap rintisan, atau yang lebih dikenal dengan istilah startup.
Startup esports ini hadir dalam berbagai wujud, mulai dari tim esports, event organizer, media, dan jenis lainnya yang bergerak di bidang esports.
Meski wujudnya bervariasi, startup ini selalu berorientasi pada projek dimana orang-orang di dalamnya mencoba untuk mengembangkan serta memvalidasi sebuah model bisnis berkelanjutan. Untuk mencapai hal ini, ada 2 jenis pendekatan dalam mendanai suatu startup, yaitu: bootstrapping (dana mandiri) dan penggalangan modal dari luar/pinjaman.
Mengingat kebanyakan startup tidak langsung menghasilkan profit, maka kedua pendekatan finansial di atas akan rentan terhadap resesi ekonomi.
Penggunaan dana mandiri akan sangat bergantung pada pendapatan yang dihasilkan agar bisa menutupi biaya operasional dan pengeluaran. Sedangkan untuk investasi, volume modal dari investor seringkali hanya mampu mempertahankan bisnis untuk beberapa bulan ke depan sesuai dengan iklim investasi.
Secara umum, ada beberapa alasan utama kegagalan sebuah rintisan usaha, di antaranya adalah: model bisnis yang cacat (kejenuhan pasar, terlalu banyak kompetisi, hambatan memulai usaha, ide bisnis yang buruk, kesulitan implementasi, ketertinggalan teknologi dan sebagainya), isu manajemen (motivasi yang salah, perencanaan dan riset yang buruk, kepemimpinan yang buruk, modal yang tidak memadai, dan arus kas yang rendah), masalah hukum dan masalah ekonomi (perubahan biaya, perubahan perilaku konsumen dan tren industri, resesi).
Efek dari pandemi global ini meningkatkan kemungkinan penyebab kegagalan tersebut secara signifikan.
Minimnya Investasi
Pada dua resesi global terakhir (2000-2001 serta 2007-2009), Ketersediaan pendanaan ventura kapital menurun secara signifikan. Meskipun kita masih bisa menjumpai kasus dimana perusahaan besar mendapatkan kredit sebesar 50 miliar dolar, namun mencairkan kredit sebesar 100 ribu dolar untuk kelompok rintisan usaha adalah hal yang sulit.
Di Jerman misalnya, dari hasil riset yang dilakukan oleh Asosiasi Rintisan Usaha Jerman (German Startups Association), 73% rintisan usaha mengaku terancam dengan krisis yang sedang terjadi.
Sejak serangan krisis, kesepakatan pendanaan oleh ventura kapital Tiongkok telah mengalami penurunan di seluruh dunia hingga 50%-57% pada dua bulan pertama tahun ini.
Jika penurunan serupa terjadi secara global, bahkan bila dua bulan saja, rintisan usaha akan kehilangan investasi setidaknya sekitar 28 miliar dolar pada tahun 2020 berdasarkan angka penelitian yang dikemukakan oleh Startup Genome, yang dipublikasikan dalam laporan “Dampak COVID-19 bagi Ekosistem Rintisan Usaha Global.”
Bangkit dari Keterpurukan
Meskipun ada banyak kemungkinan kegagalan, masih ada peluang besar untuk industri esports. Sejumlah rintisan usaha akan memperoleh keuntungan dari peningkatan penjualan atas produk dan jasa mereka, seiring dengan meningkatnya permintaan akan esports, gaming serta live-streaming.
Selain itu, krisis ekonomi akan selalu menjadi kesempatan bagi perusahaan baru untuk menunjukkan keberlanjutan model bisnis mereka. Sejarah telah menunjukkan bahwa krisis akan membuka peluang bagi rintisan usaha tertentu.
Lebih dari separuh dalam daftar Fortune 500 Companies adalah perusahaan yang dibentuk ketika periode resesi, dan lebih dari 50 perusahaan adalah perusahaan unicorn berbasis teknologi yang secara kolektif mengumpulkan nilai valuasi sebesar 145,2 miliar dolar, dan didirikan pada periode resesi tahun 2007-2009.
Salah satu unicorn tersebut adalah Airbnb, yang mana didirikan ketika para wirausahawan di belakangnya sedang berjuang membayar sewa tempat tinggal mereka kala itu.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah dimodifikasi oleh penulis sesuai dengan standar editorial Esportsnesia; Disunting oleh Satya Kevino; Sumber: The Esports Observer)