Ageism dalam Esports dan Live Streaming: Tantangan Sosial Klasik di Industri Modern

175
ageism dalam esports

Di balik gemerlapnya industri esports, ada tantangan sosial yang dihadapi para pelakunya, salah satunya adalah ageism atau diskriminasi berbasis usia.

Ageism dalam esports dan live streaming adalah tantangan serius yang dapat menciptakan kesenjangan dan minimnya peluang berkarya bagi pemain yang dianggap sudah “terlalu tua”.

Di dunia kompetitif, di mana ketangkasan dan refleks sangat menentukan kemenangan, pemain yang berusia di atas 25 tahun sering kali dianggap tidak mampu bersaing. Apakah benar demikian?

Apa itu Ageism dalam Esports?

Ageism dalam esports merujuk pada diskriminasi yang didasarkan oleh stereotip bahwa pemain yang lebih tua tidak mampu bersaing dengan pemain yang lebih muda.

Stereotip ini biasanya berdasarkan asumsi bahwa pemain yang lebih tua memiliki refleks yang lebih lambat, mengalami penurunan performa mental, dan kurang adaptif terhadap perubahan meta game atau teknologi baru.

Ageism dalam Esports: Pemain Muda dianggap Lebih Unggul?

ageism dalam esports

Organisasi esports memang sering kali lebih memilih pemain muda karena beberapa alasan:

1. Refleks yang Lebih Cepat

Game kompetitif seperti Dota 2, League of Legends, Counter-Strike, dan Mobile Legends sangat menuntut kecepatan reaksi.

Pemain yang lebih muda dianggap memiliki kemampuan refleks yang lebih tajam dan respons yang lebih cepat.

2. Potensi Jangka Panjang

Pemain muda dilihat sebagai investasi jangka panjang. Mereka bisa berkompetisi lebih lama dan tumbuh bersama tim selama bertahun-tahun.

Hal ini memberikan stabilitas yang lebih baik kepada tim daripada pemain yang sudah mendekati akhir kariernya.

3. Adaptasi Teknologi

Pemain muda dianggap lebih mudah mengadopsi perubahan dalam game, baik dalam meta game, patch baru, maupun teknologi gaming terkini.

Organisasi esports sering kali merasa bahwa pemain muda lebih cepat beradaptasi dengan tren baru, sehingga lebih kompetitif.

Dampak Ageism pada Karier Pemain Esports

ageism dalam esports

Pemain yang menghadapi ageism dalam esports sering kali mengalami tekanan yang besar untuk pensiun dini, bahkan meskipun mereka masih mampu bersaing di level tinggi.

Berikut adalah beberapa dampak ageism dalam esports pada karier pemain:

1. Tekanan untuk Pensiun Dini

Pemain esports sering kali menghadapi ekspektasi untuk pensiun ketika memasuki usia pertengahan 20-an.

Usia 25 tahun dianggap sebagai titik balik di mana pemain mulai mengalami penurunan performa, meskipun hal ini tidak selalu terbukti secara nyata.

2. Kesulitan Mendapat Kontrak Baru

Organisasi esports sering kali enggan memberikan kontrak jangka panjang kepada pemain yang lebih tua.

Mereka lebih memilih menginvestasikan sumber daya mereka ke pemain muda yang dianggap memiliki masa depan yang lebih panjang di dunia kompetitif.

Akibatnya, pemain yang lebih tua sering kali mendapatkan kontrak yang lebih pendek atau bahkan tidak diperpanjang sama sekali.

3. Dampak Psikologis

Tidak hanya berdampak pada karier pemain, ageism juga berdampak pada kesehatan mental.

Pemain yang merasa “terlalu tua” untuk bersaing mungkin kehilangan kepercayaan diri atau merasa tidak dihargai, meskipun mereka masih kompeten.

Selain itu, komentar negatif dari komunitas sering kali memperburuk keadaan, membuat pemain merasa tidak pantas bersaing dan akhirnya menghilang dari industri esports.

Ageism dalam Live Streaming

ageism dalam esports

Diskriminasi usia tidak hanya terbatas pada esports kompetitif, tetapi juga terjadi di dunia live streaming.

Platform seperti Twitch dan YouTube Gaming sering kali diisi oleh streamer muda, dan streamer yang lebih tua sering kali menghadapi komentar negatif terkait usia mereka.

1. Stereotip Gamer Muda

Banyak penonton streaming yang memiliki anggapan bahwa hanya gamer muda yang relevan atau mampu memberikan konten yang menarik.

Streamer yang berusia di atas 30 tahun sering kali dianggap “tidak mengikuti perkembangan zaman” atau tidak cocok untuk menarik audiens yang lebih muda.

Akibatnya, streamer yang lebih tua sering kali mendapat komentar negatif atau penurunan jumlah pengikut.

2. Tekanan untuk Tetap Relevan

Streamer yang lebih tua merasa harus tetap relevan dengan audiens muda. Mereka harus terus mengikuti tren game terbaru atau mengadopsi gaya streaming yang lebih menarik bagi penonton muda.

Hal ini sering kali mengalihkan fokus mereka dari kegiatan gaming yang mereka sukai demi menjaga popularitas.

3. Kurangnya Peluang Sponsorship

Apabila kita perhatikan campaign dari brand, mereka cenderung lebih tertarik bekerja dengan streamer muda. Hal ini berkaitan dengan target demografi mereka, yaitu remaja dan dewasa muda.

Hal ini secara langsung berdampak pada menurunnya peluang sponsorship bagi streamer dengan usia lebih tua.

Ageism dalam Esports Indonesia

ageism dalam esports
Image Credit: EVOS Esports

Sejauh ini, ageism dalam esports Indonesia masih tidak semengerikan di industri esports global.

Komunitas esports Indonesia termasuk suportif dalam mendukung pemain idola mereka terlepas usia.

Kita memang bisa melihat bahwa organisasi esports tanah air lebih fokus pada perekrutan pemain muda.

Namun, kita tidak bisa menyimpulkan hal ini sebagai ageism semata. Bagaimanapun, perekrutan pemain muda memang penting untuk regenerasi yang berkelanjutan.

Kita justru menyaksikan kisah inspiratif seperti Laode Nurdiansyah, pemain PES yang mengikuti eksibisi PON XX Papua 2021 lalu.

Dia telah berusia 35 tahun pada saat mengikuti turnamen nasional tersebut, terpaut 22 tahun dari atlet termuda yang saat itu masih berusia 13 tahun.

Meski tentu saja, keikutsertaannya di kancah esports tetap tidak lepas dari stereotip terkait usia. Laode sendiri mengaku pernah dianggap terlalu tua untuk berkecimpung di dunia esports.

Tapi tidak adanya batasan terkait usia pada turnamen esports nasional memberinya ruang untuk menunjukkan daya saingnya di antara pemain muda.

Ageism dalam Esports Bukan Berarti Game Over bagi Pemain

ageism dalam esports

Meskipun ageism adalah tantangan yang nyata, hal tersebut tidak serta merta mengakhiri karier pemain di dunia esports.

Masing-masing pemain pun mengambil sikap dan langkah yang berbeda-beda untuk menanggapi diskriminasi ini.

Beberapa pemain mulai fokus membangun brand pribadi sebagai content creator atau pelatih, yang memungkinkan mereka tetap relevan di industri esports meskipun tidak lagi aktif sebagai pemain.

Beberapa pemain juga menonjolkan pengalaman mereka sebagai daya jual. Wawasan mereka yang lebih dalam tentang game dan strategi yang bisa memberikan keuntungan kompetitif dibandingkan dengan pemain yang lebih muda.

Banyak juga yang kemudian fokus menekuni peran lain. Karir dalam esports tidak terbatas pada pro-player saja. Masih banyak karir lain yang bisa ditekuni seperti menjadi pelatih, manager tim, shoutcaster, dll.

Ageism dalam esports mencerminkan bias yang sudah ada di banyak industri lain, tetapi lebih mencolok di esports karena fokus yang ekstrem pada kecepatan refleks dan adaptasi teknologi.

Namun, ageism dalam esports tidak mencerminkan fakta lapangan. Banyak pemain yang berusia di atas 25 atau bahkan 30 masih mampu bersaing di turnamen kompetitif.

Fenomena ini menunjukkan bahwa industri esports, meskipun modern dan berbasis teknologi, masih menghadapi tantangan sosial klasik.

Stereotip tentang usia dalam gaming perlu diubah agar industri ini bisa lebih inklusif dan menghargai kontribusi dari semua usia.

Seperti pernyataan TwistedHumanoid, seorang gamer dan live streamer berusia lebih dari 40 tahun, “Usia dijadikan masalah dalam bermain game. Tapi industri game seharusnya tidak mengenal usia.”