Konten Bukan Segalanya untuk Brand Esports

1701
brand esports optic gaming
Credit: Business Wire

Bicara soal membangun citra brand esports, ada beberapa elemen penting yang tidak boleh dilewatkan:

  • brand tersebut harus memiliki persamaan nilai dengan tim,
  • saluran media sosial yang baik (tidak menimbulkan kontroversi/masalah),
  • konten video harus konsisten dan menarik, dan
  • keberadaan sebuah identitas.

Esports adalah perpaduan antara hiburan dan olahraga (sportstainment). FaZe Clan dan 100 Thieves membangun brand mereka dengan cara yang berbeda, baik itu dari sisi konten dan juga strategi branding yang kompetitif.

Namun ada juga pengecualian dari aturan tersebut. Pada akhirnya, apa yang menentukan popularitas suatu tim esports adalah pencapaiannya di ranah kompetitif.

Membangun Brand Esports

Industri esports sangat berbeda dengan olahraga tradisional walaupun ada sedikit persamaan. Pada hakikatnya, tim esports tetaplah tim olahraga.

Dalam waktu 50 tahun ke depan G2 Esports akan menjadi lebih besar daripada kebanyakan tim sepak bola tradisional. Bukan karena Ocelote memiliki selera humor yang apik, tetapi karena pencapaian tim League of Legends mereka yang sukses di sepanjang wilayah kompetitif di Eropa, serta sepak terjangnya yang hampir memenangkan Worlds Championship tiga kali.

Hal apa yang bisa dijadikan acuan prediksi dari proses perkembangan suatu tim olahraga? Jawabannya tidak lain adalah kesuksesannya.

Sebelum penggemar mengonsumsi suatu konten, minat para penggemar harus terlebih dahulu dipengaruhi untuk memberi rasa “mengapa mereka perlu melihat konten ini“. 

Sebagai contoh, S1mple (salah satu pemain profesional dari NA’VI) didewakan karena dia memang sangat lihai bermain CS:GO. Bersama dengan sejarah kesuksesan NA’VI di Dota 2, kombinasi kesuksesan tersebut menjadi alasan utama mengapa brand NA’VI terlihat sangat bergengsi dan merefleksikan aura kesuksesan.

Di sisi lain, Fnatic adalah salah satu brand esports paling bergengsi di dunia barat. Mereka mengandalkan kesuksesannya di CS:GO dan League of Legends, dan tidak mengutamakan konten.

Alasan NA’VI dan Fnatic menjadi brand esports yang sangat besar sekarang adalah karena mereka memiliki sejarah kesuksesan. Sama seperti dalam olahraga tradisional, kemenangan membangun prestise.

Pada akhirnya esports adalah olahraga, dan meskipun ada banyak persilangan antara konten dan prestasi; prestasi organisasi tentu akan berbicara lebih kuat daripada konten.

Momen kemenangan bersejarah juga akan memainkan sebuah peranan penting dalam mencapai kesuksesan brand esports. Sebut saja ketika Cloud9 akhirnya memenangkan pertandingan CS:GO yang paling tidak terduga di Boston pada tahun 2018 lalu, organisasi tersebut sukses menanam benih fandom yang terus berkembang menjadi sesuatu yang bermakna dan masih terus berkembang. 

G2 mungkin adalah seperti Manchester United-nya industri esports. Mengapa? Kepemimpinan Ocelote sudah pasti membantu. Atribut jenaka dari identitas organisasi ini juga menjadi faktor penentu. Belum lagi dukungan dari Jens Hilgers sejak awal. Dan terakhir, G2 juga memenangkan banyak hal.

Ketika G2 menandatangani pemain Fortnite atau Rainbow Six: Siege baru, para penggemar langsung mencap pemain tersebut layaknya pemain bintang.

Berapa banyak tim esports yang telah membangun brand mereka hanya dari kesuksesan kompetitif? Kesuksesan suatu brand memang dipengaruhi banyak hal. Namun, prestasi kemenangan kompetitif esports masih sangat diperlukan untuk meningkatkan atau bahkan meningatkan legitimisasi dari suatu brand.

FaZe, OpTic Gaming, dan Konten

Di saat G2 Esports sedang menempa prestise kompetitif. FaZe Clan dan OpTic Gaming mungkin sedang membangun sesuatu yang berbeda.

FaZe adalah fenomena budaya. Hal yang sama juga berlaku untuk OpTic. CEO FaZe Clan, Lee Trink mengatakan kepada Esports Insider, bahwa “FaZeadalah brand yang dimulai oleh sekelompok remaja di Xbox.”

“[Ketika FaZe didirikan] orang-orang saat itu memutuskan untuk berjumpa dan hidup bersama. Hanya mengandalkan insting, mereka memutuskan untuk beralih dari gameplay ke konten yang berpusat pada diri sendiri. Mereka percaya bahwa mereka membuat keputusan yang tepat untuk tidak menempuh rute yang biasa, sambil mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Tapi itu bukan strategi. Mereka melakukannya begitu saja.”

“Inilah tantangan bagi organisasi esports lainnya: ketika saya [bergabung dengan FaZe sebagai CEO], saya tidak datang dan berkata, ‘mari kita ubah hal ini menjadi brand ‘gaya hidup’. Kita adalah brand gaya hidup. Dan itu berarti sesuatu. Kami yang memimpin dalam permainan.”

FaZe benar-benar memimpin dalam game dan budayanya; hal ini yang membedakan mereka dari yang lain. OpTic Gaming, sama seperti FaZe, juga membuat konten game unik (bukan esports) sejak awal, yang menggerakkan pembangunan GreenWall (fanbase OpTic).

Dalam esports, kasus seperti itu — di mana konten mendahului piala dalam misi membangun merek — adalah pengecualian, bukan aturannya.

Fenomena ini adalah sebuah pengecualian untuk mendahulukan konten sebelum prestasi dalam membangun brand. Setiap tim esports harus berpacu mengejar kemenangan atau setidaknya harus kompetitif.

Pada tingkat kasar, itu memberi organisasi sesuatu untuk menarik investor dan sponsor, tetapi yang lebih penting, di mata penggemar, itu menambah prestise.

Itu tidak berarti FaZe atau 100 thieves tidak dapat membangun prestise kompetitif. Trink dari FaZe mengatakan:

Esports masih menjadi pusat dari apa yang kami lakukan. Ini adalah bagian penting dari struktur siapa diri kita. Lihatlah influencer kami; mereka cenderung mengawinkan pengaruh mereka dengan game. Perpaduan tersebut menciptakan sesuatu yang kuat.”

“Penting bagi kami untuk berpartisipasi dan menang. Kami tidak berpikir FaZe sama pentingnya tanpa tingkat permainan tertentu. Maksudnya, kami telah memenangkan 27 kejuaraan dunia — cukup bagus untuk tim yang ‘bukan tim esports sungguhan’. Tetapi kekuatan kami datang dari sisi lain. Hampir tidak ada organisasi lain yang memilikinya.”

Filosofi Astralis

Kontras antara FaZe Clan dan organisasi seperti Astralis patut direnungkan. Esports Insider juga berbicara dengan Nikolaj Nyholm, Pendiri dan Pemimpin Astralis, yang mengambil pendekatan yang hampir berlawanan arah.

“Kami secara sadar menjauh dari [strategi yang mengutamakan konten],” katanya. “Kami pikir konten sangat kuat jika ada hubungannya dengan tim pro kami. Saat kita berbicara tentang tim, kita berbicara tentang fandom; fandom sama dengan emosi yang jauh lebih kuat. Jika Anda ingin menciptakan dampak dengan para penggemar, seperti yang diharapkan oleh sponsor dan pengiklan, itulah cara paling berdampak untuk melakukannya.”

“Beberapa dari kami telah menjadi penggemar Manchester United atau Liverpool karena kami menonton Liga Inggris sebagai seorang anak. Hal-hal itu melekat pada kita dari usia sembilan hingga tiga belas tahun, hingga usia saya sekarang, 45 tahun. Itu luar biasa kuat. Konten belaka tidak cocok dengan saya; Saya telah menonton Pewdiepie, dan itu menyenangkan untuk ditonton, tetapi belum tentu ada ikatan emosional yang kuat.”

Orang bisa berargumen bahwa Nyholm menonton Man United atau Liverpool pada usia 10 sama dengan seorang penggemar OpTic yang memuat YouTube untuk melihat OpTic Scumpii pub-stomp.

Tetapi di arena kompetitif, strategi “konten adalah prioritas” tidak akan membawa Anda berjalan jauh. OpTic Gaming adalah raksasa di esports. Filosofinya, menurut Hector Rodriguez sendiri, jelas mengutamakan konten.

Namun jika tidak ada Scump, Formal, Karma, Crimsix, dan Nadeshot yang telah memenangkan piala dari pertandingan bergengsi, mungkin tidak banyak yang akan mempedulikan organisasi itu.

Penggemar OpTic itu tidak akan menonton Scumpii pub-stomp jika dia tidak begitu baik. Saat ini skema kompetitif esports dari gim Call of Duty bahkan mengandalkan tim OpTic Gaming untuk mendapatkan jumlah tayangan.

Memang kita tidak dapat menyangkali dampak yang bisa dihasilkan konten dalam esports. Perpaduan hiburan dengan olahraga tentu sangat menarik untuk ditonton.

Tetapi untuk menyatakan bahwa suatu brand dapat berhasil hanya dengan strategi yang mengutamakan konten, sebut saja contohnya FaZe Clan atau OpTic Gaming, tampaknya gagasan tersebut masih tidak adil. Hanya karena FaZe berhasil melakukannya, bukan berarti itulah blueprint-nya.

Hukum yang masih relevan dari dunia olahraga tradisional dan bisa diterapkan ke ranah esports adalah: Konten memang penting, namun pencapaian organisasilah yang akan menentukan prestise dari suatu brand.

banner iklan esportsnesia