Sudah merasakan bahaya kecanduan gacha? Atau belum pernah gacha malah, karena selama ini sudah takut duluan melihat teman-teman ketagihan gacha begitu mereka coba? Valid kok. Game gacha memang bisa jadi adiktif.
Gacha game biasanya dominan di pasar mobile, menyerupai game free-to-play dengan sistem lotere untuk mendapatkan item atau karakter tertentu.
Monetisasinya tentu saja, dari seberapa sering dan berapa banyak pemain melakukan gacha berbayar untuk mendapatkan hadiah yang lebih berharga–eh kok terdengar seperti judi online (judol)?
Memang Judi Kok
Sebelum mencak-mencak marah karena merasa tidak terima game kesukaannya disamakan dengan judol, mari kita simak dulu definisi judi itu apa sih sebenarnya?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “judi” adalah permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan.
“Gacha Genshin gue F2P, nggak pernah top up! Nggak ada yang gue pertaruhkan!”
Iya, tapi bagaimana dengan jutaan pemain lain yang top up dan mengubah bentuk uang asli menjadi in-game currency yang sama berharganya?
Apakah bisa dikategorikan sebagai judi? Bisa kalau secara semantik begini, secara definitif. Tapi kalau secara hukum? Wah, itu mulai rumit.
Gacha dan Judi Bisa Jadi Beda
Banyak kontroversi terkait klasifikasi gacha sebagai judi atau bukan di mata hukum. Misalnya di United Kingdom alias di Inggris sana, gacha tidak dianggap sebagai tindakan berjudi karena pihak pemerintahnya menganggap in-game item tidak memiliki nilai moneter asli yang dapat diuangkan.
Kasarnya, mereka menganggap waifu gepeng PNG milikmu tidak berharga karena tidak bisa dijual.
Berbeda dengan Belanda dan Belgia, di sana gacha disamakan dengan judi karena memiliki kemungkinan untuk RMT atau Real Money Transaction di mana in-game item dapat dijual menggunakan uang asli. Seperti yang pernah dibahas dalam artikel mengenai RMT loot box ini.
Betul, tergantung negaranya dan bagaimana pemerintah menyikapi gacha itu sendiri. Dari dua keputusan di atas, Indonesia sendiri sejauh ini tidak atau mungkin belum mengkategorikan gacha sebagai judi.
Masih aman, tenang saja silakan dilanjut gacha skin hero–nya. Anda bukan kriminal. Untuk sekarang, hehe.
Gacha! Menjanjikan Kemenangan
Awalnya kata gacha diambil dari “Gachapon” berupa mainan kapsul dari vending machine buatan Bandai. Lalu sejak tahun 2011, mobile game buatan Jepang mulai memperkenalkan sistem gacha di dalam mekanik mereka.
Konsep gacha sebenarnya cukup simpel; pemain menggunakan in-game item/currency tertentu dan memulai lotere untuk mendapatkan sebuah karakter atau in-game item lain yang lebih berharga secara acak.
Tentu saja secara mekanik, video game gacha memanfaatkan emosi penasaran, kejutan, dan kekecewaan dalam memanipulasi emosi pemain untuk mau main tanpa henti.
Kalau belum dapat kartu dengan cerita kencan bersama husbando yang itu, belum selesai gacha-nya.
Sudah tidak asing lagi bagaimana seorang pemain gacha bisa menghabiskan jutaan rupiah demi karakter yang diinginkannya.
Seperti kisah legendaris pemain Granblue Fantasy yang menghabiskan JPY700.000 atau sekitar IDR73.400.000 demi mendapatkan sebuah PNG karakter kesukaannya.
Kalaupun bukan dari uang asli, bayangkan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk grinding supaya bisa mendapatkan gacha F2P dari in-game item hasil menabung. Semua waktu itu, bisa dilakukan untuk hal lain lho.
Tapi kenapa semua ujung-ujungnya jadi gacha ya?
Bahaya Kecanduan Gacha
Lalu apa saja dampak dari mekanik permainan yang mengandalkan gacha? Apa bahaya gacha bagi pemain?
Fear of Missing Out (FOMO)
Kebanyakan dari gacha memanfaatkan mekanik waktu terbatas atau limited time gacha yang menghadiahkan limited character atau limited skin.
Misalnya seperti skin summer atau rate up limited time yang memberikan pemain kesempatan lebih besar dalam mendapatkan sebuah karakter atau in-game item.
Saat manusia dihadapkan dengan kesempatan terbatas, lazim baginya untuk merasa “gereget” ingin mendapatkannya. Apalagi kalau teman-teman sepantaran juga sudah punya. Selain takut ketinggalan, ada peer pressure untuk sama-sama memiliki hal yang sama.
Fear of Missing Out (FOMO) saat bermain game, ketakutan ketika semua orang sudah memiliki suatu hal sementara dirimu belum. Ingin memiliki atau merasakan hal yang sama. Dalam konteks ini, perihal in-game item dari hasil gacha.
Keberadaan skin yang limited edition dalam sebuah gacha game tidak ada bedanya dalam urusan keinginan untuk mendapatkannya secara cepat dengan keinginan untuk hunting hot wheels limited edition meski yang satu bentuknya digital dan yang satu fisik.
Perasaannya sama: “aku harus bisa dapatkan barang itu supaya nggak ketinggalan.”
Mau barangnya ada secara fisik ataupun tidak, perasaan haus kepemilikan itu tetap sama. Apalagi kalau diikuti dengan keterikatan dengan karakter yang dijadikan husbando/waifu.
Impuls Yang Tidak Bisa Terkontrol
Bahaya dari rasa FOMO adalah munculnya impuls atau keinginan berbuat sesuatu yang sulit dikontrol. Impuls adalah godaan untuk melakukan sesuatu secara tiba-tiba.
Seperti impuls untuk check out barang-barang lucu tidak penting di marketplace, atau impuls untuk gacha berbayar karena free pull yang kamu dapatkan tidak juga menghasilkan karakter idaman.
Impuls yang tidak bisa dikontrol dapat berdampak negatif untuk kehidupan. Padahal tidak ada dana untuk gacha tapi karena “kebelet” ingin punya karakternya, jadi top up deh.
Padahal sudah akhir bulan, tapi dana makan dipakai untuk beli in-game item/currency supaya bisa gacha. Pokoknya harus bisa gacha. Terus dan terus sampai kecanduan gacha.
Prioritas yang bergeser karena FOMO dari perasaan ingin memiliki barang digital ini bisa jadi bahaya terutama saat kondisi finansial sedang tidak baik. Dan pada saat itulah biasanya impuls sering muncul.
Karena ada perasaan yang kosong, perasaan tidak bisa mendapatkan sesuatu secara konkrit yang digantikan perasaan mendapatkan hasil gacha.
Bahaya Kecanduan Gacha Seperti Judi Online
Sama seperti orang-orang normie kecanduan judi online yang sering ditertawakan itu, sebenarnya orang yang kecanduan gacha juga tidak ada bedanya.
Keduanya sama-sama terjebak jeratan impuls dan nafsu untuk ingin menang dan ingin memiliki hadiah yang dijanjikan oleh mekanik lotere dalam game.
Hanya saja memang secara hukum, gacha tidak atau mungkin belum dianggap sama dengan judi di Indonesia. Belanda dan Belgia sudah melakukannya, dan mungkin Uni Eropa sebentar lagi.
Tapi apakah harus menunggu banyak korban berjatuhan dulu baru kita mau memperhatikan masalah ini?
Bagaimanapun, rasa menyenangkan dari perasaan mendapatkan waifu/husbando itu hanyalah sesaat dari lamanya kehidupan yang harus pemain jalani. Jangan sampai karena euforia sesaat, kamu melupakan semuanya yang ada di depan.
Ingat kata Rhoma Irama:
Bohong, kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan