Perkembangan Virtual Reality Esports

4548
Virtual Reality esports
via Unsplash

Virtual Reality Esports – Teknologi virtual reality (VR) ternyata belum mengambil alih perhatian dunia seperti yang diharapkan Mark Zuckerberg saat ia membeli Oculus Rift seharga $2B pada tahun 2014. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh biaya yang sangat besar bagi konsumen untuk terjun ke gadget VR yang berkualitas tinggi.

Tidak hanya VR yang mahal, untuk menikmati VR juga dibutuhkan komputer gaming berspesifikasi tinggi. Meskipun tumbuh dengan cepat, pada tahun 2018 Valve mencatat bahwa 0,8% pengguna Steam memiliki headset VR yang terpasang pada komputer mereka. Jumlah tersebut mencapai hampir dua kali lipat dibandingkan 16 bulan sebelumnya.

Selagi VR masih dalam masa pertumbuhannya, esports juga tidak serta merta meninggalkan mereka.

“Kita sedang berada di tahap awal VR League (VRL), tahun ketiga, dan kita sudah melihat tanggapan positif dari para pemain, tim, dan penerbit,” kata Senior Vice President of Publisher & Developer ESL Sean Charles.

“Dengan judul-judul seperti Onward dan Echo Combat, kita memiliki lebih banyak alasan dibandingkan sebelumnya untuk mengambil bagian dalam VR League, dan para pemain merespons panggilan tersebut. Terlebih lagi dengan Ubisoft meluncurkan judul game kompetitifnya, Space Junkies, sebuah pertanda bagus untuk yang akan datang.”

Dari berbagai judul game kompetitif berbasis VR yang dipamerkan, Echo Combat terlihat sebagai yang paling unik dan menarik. 

Tim bermain sebagai karakter bergambar vektor yang terbang di dunia yang berwarna cerah, memanjat di dinding untuk menemukan titik untuk bergantung dan untuk menembak jatuh lawan mereka.

Ada beberapa cara mengintip di tiap sudut agar pemain mendapatkan jarak pandang yang lebih baik terhadap lawan-lawan mereka.

Echo Combat dibuat oleh Ready at Dawn, studio game yang berbasis di Irvine, California, yang menciptakan judul populer God of War di konsol PSP. Studio ini telah membuat banyak game VR yang semuanya diterbitkan oleh Studio Oculus.

Dikarenakan Oculus Studios yang menerbitkan Echo Combat, maka judul tersebut pun eksklusif hanya untuk headset Oculus Rift.

Eksklusivitas dalam VR

Eksklusivitas perangkat VR adalah masalah utama dalam industri VR karena adanya segmentasi aplikasi di merek tertentu.

Akan tetapi, eksklusivitas tersebut ada memberikan insentif bagi perusahaan seperti Facebook untuk terus berinvestasi dalam pembuatan perangkat lunak berkualitas tinggi yang dapat digunakan untuk menjual lebih banyak perangkat keras Oculus.

Meskipun rasanya konyol untuk membeli beberapa perangkat VR agar bisa mengakses semua game VR; untungnya, ada pihak yang telah menciptakan perangkat lunak, seperti Revive, yang dapat memanipulasi Oculus agar eksklusivitas perangkat lunaknya dapat dimainkan di headset Vive HTC.

“Kami telah beruntung sejak awal karena bekerja sama dengan mitra seperti Oculus dan Intel yang sangat ingin menjadi yang terdepan, dan di tahun ketiga ini kami berharap untuk melihat beberapa nama baru yang bergabung dengan tim, ” kata Sean Charles.

Saat ini, jumlah penonton untuk esports VR sangat rendah. Tren ini masih dianggap aneh meskipun ditampilkan di halaman depan Twitch. Sebagian besar tayangan streaming VR hanya memiliki beberapa ribu view.

Hal ini sungguh masuk akal. Penikmat esports cenderung hanya menonton game yang mereka mainkan atau yang mereka familiar. Memperkenalkan judul-judul baru hanya karena ada unsur VR hanya mampu menarik rasa ingin tahu dari penonton, terutama di saat ada banyak konten esports untuk dipilih.

Menurut Charles, di tahun 2018, terdapat enam juta view selama penayangan musim VR League. ESL berharap angka itu akan tumbuh pada tahun 2019.

“Para penggemar benar-benar bersemangat tentang unsur aktivitas fisik dari esports VR,” kata Charles. “Melihat para pemain VRL yang melompat dan bergerak secara dinamis, hal tersebut tentunya memberikan feedback langsung kepada penonton tentang apa yang terjadi di dalam dunia digital VR.”

Potensi esports berbasis VR

Sementara VR masih tumbuh perlahan di ruang konsumen, ada sebuah pasar yang dapat menerima pertumbuhan ini, yaitu pusat hiburan keluarga. Bayangkan saja tempat seperti Dunia Fantasi. Sudah pasti dapat digunakan untuk menyajikan sensasi VR.

Hal itulah yang dilakukan Virtuix, perusahaan yang berbasis di Austin dengan perangkat treadmill VR-nya, Omni. Dengan permukaan dimana pemain mengenakan sepatu khusus di atas sebuah bidang dan dapat bergerak, sambil mengikatkan pinggangnya ke unit agar tidak terjatuh.

Kemudian, headset VR dipasang dan mulai menerima input dari gerakan fisik pemainnya untuk diterjemahkan di dunia VR. Ketika Omni pertama kali diluncurkan, Omni dipasarkan ke pasar konsumen.

Tetapi seiring dengan semakin perkembangan kompleks Omni, Omni mencapai titik harga di luar ranah keterjangkauan pasar konsumen, yang membuatnya bergerak ke arah pasar acara komersial.

“Pasar acara komersial ini bukanlah pasar kecil. Ini adalah industri besar. VR mendapatkan banyak daya tarik di sana dan begitu juga produk kami, ”kata CEO Virtuix, Jan Goetgeluk. “Kita mungkin akan kembali ke pasar rumahan di masa akan datang. Tetapi sementara ini, kami memiliki banyak keberhasilan di sektor komersial dan hiburan, dan di situlah para investor bersemangat.”

Pada tahun 2019, diumumkan bahwa HP dan HTC akan memberikan dukungan hadiah untuk seri turnamen Virtuix Omniverse ESPORTS. Dengan total hadiah USD 50K yang sederhana, tim  yang terdiri dari 2 pemain akan saling bersaing di lokasi acara untuk mendapatkan hadiah.

Virtuix Omni
Perangkat Omni (Credit: Virtuix.com)

Hal ini sangat mirip dengan turnamen Street Fighter di tahun 80-an, di mana para pesaing harus bertemu di arcadelokal untuk berlatih dan bersaing. Mitra acara berharap bahwa Omniverse ESPORTS akan membuat kunjungan berulang dari para pemain hardcore dan mulai membangun komunitas yang kompetitif di sekitar lokasi-lokasinya.

Saat ini ada lebih dari 3.000 perangkat Omni di lebih dari 500 lokasi komersial di 45 negara.

Virtuix telah menciptakan jaringan distributor dan terus menciptakan sensasi pengalaman baru bagi para pemilik tempat hiburan keluarga untuk menjual perangkat tersebut kepada para pelanggannya.

Secara perhitungannya, rata-rata sensasi pengalaman di dalam Omni akan membuat konsumen membayar 1 dolar per menit.

Salah satu pemilik tempat hiburan tersebut adalah Ilya Polokhim yang menjalankan bisnis Hubneo VR Lab di Manhattan. Penggemar teknologi berusia 40 tahun itu meninggalkan pekerjaan keuangan korporat Wall Street yang bergaji tinggi dan merintis pusat VR-nya sendiri sekitar satu setengah tahun yang lalu.

Mengingat bahwa markasnya terletak di Manhattan, ruangannya berukuran relatif kecil, terutama bila dibandingkan dengan pusat hiburan di pinggiran kota.

Akan tetapi, Hubneo memiliki dua perangkat Omni, serta dua set simulasi balapan ala hidrolik, simulasi terbang dengan kokpit, dan ruang untuk gaming room VR.

Hubneo VR Lab (via LiquidSpace)
Hubneo VR Lab (via LiquidSpace)

“Pemasaran kami sepenuhnya terfokus pada mulut ke mulut,” kata Polokhim. “Biasanya gamer, pembalap, dan pilot datang ke sini dan bermain, kemudian memberitahu teman-teman mereka tentang tempat ini. Kami tidak benar-benar menghabiskan uang untuk melakukan pemasaran.”

“Tentunya di bisnis apapun, selalu ada masa dimana bisnis kita berperforma baik dan masa dimana performanya kurang baik,” kata Polokhim. Akan tetapi, Polokhim mengakui bahwa fasilitasnya sudah meraup keuntungan sejak bulan ketujuh sejak tempat ini dibuka.”

Yang menarik, Polokhim tidak perlu mengambil pinjaman bank untuk memulai Hubneo. Sebelumnya, dia telah bekerja dengan orang-orang di Wall Street yang juga merupakan penggemar VR.

Dan yang lebih menarik lagi, beberapa pelanggan tetapnyalah yang justru menjadi investor. Bahkan pemilik tanahnya sendiri adalah penggemar VR dan bersemangat untuk ekspansi.

Hubneo VR Lab juga akan berpartisipasi dalam Omniverse ESPORTS yang diadakan Virtuix. Polokhim mengatakan bahwa ia telah memiliki beberapa atlet yang berdedikasi untuk memenangkan total hadiah sebesar $50K itu.

Bagi kami, fasilitas VR ini bukan hanya tentang sekedar menempatkan orang di alam virtual. Tetapi ini adalah tentang memiliki pelanggan yang loyal, “kata Polokhim. “Saat ini, kami memiliki sekitar 40-45% tingkat pengembalian pelanggan.”

Saat ini, sulit untuk mengatakan apakah atau kapan esports bertema VR benar-benar lepas landas.

Ada dua kemungkinan: apakah game-nya akan bertumbuh lambat dan organik, atau apakah game tersebut akan memiliki momen “Ninja” dimana ada 1 judul game yang sangat melekat di platform seperti Twitch.

Untuk tiba di masa dimana VR bisa ditemukan dimana saja, kemungkinan besar itu akan sangat lambat terjadi.

Tetapi mengingat bahwa para perusahaan top seperti Facebook, Intel, dan HTC bersedia untuk terus mendukung liga-liga esports berbasis VR ini secara finansial, akan ada langkah-langkah untuk menjaga VR untuk terus maju.

Dan ketika teknologi VR terus menjadi lebih murah dan lebih mudah diakses, kita akan melihat lebih banyak yang berlari, merunduk, dan memanjat di fasilitas esports ini.


(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah dimodifikasi oleh penulis sesuai dengan standar editorial Esportsnesia; Disunting oleh Satya Kevino; Sumber: The Esports Observer)