Di tahun 2017, The Esports Observer sempat mewawancarai Sam Braithwaite, esports franchise lead dari Heroes of the Storm. Di kesempatan itu, Sam mengutarakan harapannya di liga profesional Blizzard Heroes of the Storm Global Championship (HGC), agar semua tim yang bertanding memiliki sponsor di tahun 2018.
Heroes of the Storm Global Championship (HGC) 2018 lalu dikemas dengan ajang kejuaraan dunia di BlizzCon. Momentum BlizzCon yang mendukung perkembangan esports ini, menciptakan peluang sempurna untuk mengetahui apakah Blizzard mampu mencapai tujuan ini.
Sayangnya, dengan hanya melihat liga Amerika Utara dan Eropa, kita bisa mempelajari bahwa setiap wilayah memiliki 2 tim tanpa afiliasi organisasi. Bahkan, beberapa organisasi meninggalkan HGC selama musim 2018.
Meskipun terkesan tidak adil jika membandingkan HGC dengan liga franchise seperti League of Legends Championship Series (LCS), kurangnya minat dari organisasi yang berpartisipasi di HCG menjadi sebuah hal yang perlu dikhawatirkan, khususya ketika hal ini menimpa pengembang yang juga mempelopori sistem franchise esports di Overwatch League (OWL).
Sejak tahun 2015, lebih banyak organisasi esports papan atas yang meninggalkan Heroes of the Storm daripada yang bergabung ke dalamnya. Cloud9, Natus Vincere, Virtus.pro, dan Evil Geniuses; semuanya meninggalkan permainan sebelum peluncuran HGC. Sistem liga pun tidak berhasil menarik mereka untuk kembali.
Jika struktur HGC tidak dapat menarik organisasi esports ke HOTS, maka sudah waktunya untuk mencoba jenis skema kompetitif yang lain.
Meniru Dota
Ketika beberapa pengembang sedang memindahkan judul esports mereka ke sistem liga mingguan, Dota 2 telah berpegang teguh pada skema turnamen profesionalnya, yang berpuncak pada The International.
Di Dota Pro Circuit, Valve memilih penyelenggara pihak ketiga untuk menjalankan turnamen di seluruh dunia. Tim saling bertanding dalam turnamen ini untuk mengumpulkan poin, yang menjadi syarat untuk melanjutkan perjalanan mereka ke The International.
Pertandingan musim HGC kebanyakan dimainkan secara online, bukan di atas panggung. Hal ini menimbulkan berbagai masalah untuk pemain dan brand yang mereka wakili. Hal yang paling memprihatinkan bagi organisasi adalah, pemain mereka terlihat di siaran mingguan.
Hal ini menunjukkan bahwa sponsor jersey hampir tidak terlihat selama musim reguler HGC. Lebih lanjut lagi, para pemain hanya terlihat di layar saat wawancara yang hanya menampilkan satu anggota dari tim yang menang setelah setiap pertandingan.
Dengan para pemain yang sebagian besar tidak terlihat selama hampir di seluruh siaran HGC, sulit bagi para penggemar untuk membangun fans-relationship dengan tim favoritnya. Hal ini membebani para organisasi esports karena adanya kesulitan untuk membuat konten seputar tim atlet mereka.
Konten yang disponsori adalah salah satu cara utama untuk mengaktifkan brand dengan organisasi esports. Oleh sebab itu, kurangnya konten tentu akan semakin mengurangi nilai tim HOTS untuk pihak manajemen organisasi dan juga sponsor.
Selain itu, HGC masih menggunakan sistem penurunan pangkat dimana dua tim terbawah di setiap liga harus bersaing melawan pasukan amatir untuk mempertahankan tempat mereka di musim berikutnya.
Sebelum LCS (League of Legends Championship Series) pindah ke sistem franchise, pemilik Team SoloMid, Andy “Reginald” Dinh berbicara di Twitter tentang tantangan yang dihadapi organisasinya dalam mendapatkan sponsor, serta berinvestasi lebih banyak ke League of Legends agar tetap bertahan meskipun mengalami penurunan tingkat.
Bagi organisasi dan brand, sistem ini membuat investasi dalam permainan apa pun menjadi beresiko lebih besar, karena mereka dapat sepenuhnya dihilangkan dari liga jika mereka terus berperforma buruk selama satu musim.
Dalam sistem sirkuit turnamen seperti Dota 2, masalah di atas dapat diatasi. Setiap turnamen di sirkuit Dota akan diadakan secara live (setelah putaran awal kualifikasi online). Hal ini akan memberi pemain dan sponsor jersey lebih banyak waktu tayang di layar.
Sementara itu, di saat tim memiliki performa yang buruk, mereka hanya akan kehilangan satu turnamen. Mereka masih dapat menyusun kembali susunan roster tim mereka sebelum kompetisi berikutnya, atau bertanding dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh penyelenggara lain.
Yang mereka inginkan
Sirkuit turnamen global mugnkin bisa menjawab tantangan dalam menarik lebih banyak organisasi esports ke dalamnya, serta meningkatkan jumlah audiens esports Heroes of the Storm secara keseluruhan.
Sejauh ini, satu-satunya acara dalam kalender HOTS yang menghasilkan konten paling banyak ditonton pada tahun 2018 adalah Mid-Season Brawl, sebuah turnamen internasional yang mengadakan pertandingan finalnya di DreamHack Summer Swedia.
Acara ini bahkan berhasil mengungguli kejuaraan dunianya yang memiliki total hadiah mencapai $1 juta di BlizzCon. Puncak acara final BlizzCon yang berlangsung pada 3 November meraih 310.30K jam tonton, sementara itu Mid-Season Brawl pada 17 Juni berhasil meraih 538,37K.
Mid-Season Brawl tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan turnamen BlizzCon. Namun, hanya dengan seperempat dari total hadiah kejuaraan dunia yang berada di ruang lingkupnya, acara tersebut justru telah menjadi turnamen paling populer dari kalender HGC.
Hal ini menunjukkan bahwa turnamen yang dikelola oleh pihak ketiga juga dapat mendukung keberadaan jumlah penonton yang lebih besar daripada sistem liga online saat ini.
Kenapa tidak bermodelkan franchise?
Tentu saja, ada strategi alternatif yang bisa digunakan Blizzard untuk “menyelamatkan” HGC. Jika pengembang memutuskan untuk meniru struktur franchise Overwatch League, maka ini akan menyelesaikan masalah di isu permainan online dan penurunan tingkat.
Juga memungkinkan Blizzard untuk mengontrol skema profesional game-nya. Namun, tetap saja ada beberapa masalah dengan strategi itu.
Pertama, Blizzard perlu menemukan mitra jangka panjang yang bersedia berinvestasi dalam Heroes of the Storm. Dari segi jumlah basis pemain, HOTS sangatlah jauh dari Overwatch di awal masa Liga Overwatch dimulai.
Juga tidak ada jaminan ada 8-10 organisasi atau investor mapan yang bersedia membayar biaya franchise yang besar di judul esports yang bahkan jumlah audiensnya berada di bawah Rocket League.
Selanjutnya, Overwatch League adalah liga global yang dimulai dengan hanya 12 tim. Jika HOTS pindah ke liga franchise global yang memiliki atribut geolokasi yang sama, hal ini akan berakibat pada terhapusnya lusinan tim, pemain, dan staf pendukung yang ada di ekosistem.
Langkah ini akan berisiko pada pengasingan penggemar yang setia kepada para pemain dan tim, hanya demi struktur liga yang sangat mahal tanpa jaminan kesuksesan.
Atau, HOTS bisa mengadopsi model LCS dari liga franchise regional. Tetapi ini juga membutuhkan lebih banyak organisasi yang mau berinvestasi untuk jangka panjang, dan bahkan memerlukan lebih banyak infrastruktur.
Dalam sistem sirkuit turnamen, biaya operasional dan pemasaran akan diteruskan ke penyelenggara pihak ketiga, sementara Blizzard hanya akan memasok acara dengan jutaan hadiah dan penghargaan.
Popularitas dari musim pertama Overwatch League dan LCS dapat membuat penyelenggara dan investor percaya bahwa sistem liga adalah satu-satunya cara untuk membangun skema olahraga yang berkelanjutan.
Akan tetapi, Valve juga telah membuktikan dengan Dota 2, bahwa ini bukan masalahnya. Dengan belajar dari sejarah yang sudah ada, Blizzard dapat memberi nilai lebih bagi organisasi, memberikan sensasi menonton kepada audiens yang lebih besar, dan mendapatkan lebih banyak perhatian pada judul esports yang kurang dikenal.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah dimodifikasi oleh penulis sesuai dengan standar editorial Esportsnesia; Disunting oleh Satya Kevino; Sumber: The Esports Observer)