Pengenalan pertama
Setelah pembentukan organisasi yang bernama Japan Esports Union atau disingkat sebagai JeSU pada bulan Februari 2018 lalu, semakin banyak yang mulai melirik pertumbuhan esports di Jepang.
Walaupun tidak semua perkembangan terhadap esport dalam Jepang berasal dari JeSU, namun pembentukan organisasi ini tetap saja membuat landasan penting yang memicu komunitas esports di Jepang untuk mulai bersaing di pertandingan esports skala internasional.
Dalam awal pembentukannya, JeSU menggabungkan 3 organisasi esports Jepang yang sudah mapan: Japan Esports Association, Esports Promotion Organization, dan Japan Esports Federation.
Selain itu, organisasi lain seperti Computer Entertainment Supplier’s Association (CESA) yang mengadakan Tokyo Game Show setiap tahunnya, dan Japan Online Gaming Association (JOGA); juga sudah resmi bekerja sama dengan JeSU untuk mendorong lebih jauh perkembangan industri gaming di Jepang.
Misi dan prestasi
Akihito Furusawa, kepala dari departemen humas JeSU, sekaligus juga CEO dari RIZeST, menjelaskan bagaimana hasil prestasi JeSU sejak pembentukannya sejauh ini.
Dengan surat izin atau lisensi esports yang diterbitkan JeSU untuk pemain dan tim profesional yang berasal dari Jepang, hal ini menjadi sebuah langkah besar untuk mencapai misinya dalam mendorong pertumbuhan ekosistem esports di Jepang.
Lisensi esports ini bisa dipakai untuk menghindari salah satu regulasi “anti mafia” yang sudah ditulis sejak 1980. Regulasi tersebut membatasi berapa hadiah maksimum yang bsia diberikan dalam suatu turnamen esports di Jepang.
Karena tidak bisa menyediakan hadiah yang terlalu besar, kebanyakan acara turnamen tidak memiliki promosi yang menarik untuk gamer casual, sehingga pertumbuhan dari komunitas ini menjadi terhambat.
Efek ini kemudian berdampak dalam pembatasan tumbuhnya ekosistem esports di seluruh Jepang. Karena adanya keterbatasan dalam regulasi ini, dan juga tanpa jaringan yang kuat dengan perusahaan gaming di Jepang, banyak komunitas internasional yang enggan untuk membuat event besar mereka di Jepang.
Memperbaiki masa lalu
Revisi peraturan ini baru dibahas oleh pemerintah Jepang saat mereka meninjau bagaimana menambah cabang pertandingan esports ke dalam Olympic 2024. Dengan revisi baru ini, sekarang pertandingan esports sudah tidak lagi dibatasi dengan total hadiah sebesar ¥100,000 atau 12 juta rupiah.
Akihito menyebutkan bahwa mereka telah memiliki indikasi tertentu untuk membantu para pemain dan organisasi esports di Jepang mendapatkan lisensinya. Adapun ketiga elemen dalam ekosistem yang harus dijaga adalah:
- Judul permainan esports
- Turnamen
- Sistem audit/pemeriksaan, sistem juri.
Koalisi lokal
Tercatat sudah ada 26 perusahaan yang telah bergabung menjadi anggota JeSU. Di dalamnya terdapat berbagai perusahaan yang sudah memiliki pamor dalam dunia gaming, seperti Sony Interactive Entertainment, Microsoft Japan, Tencent Japan, Bandai Namco, Arc System Works, Konami , Sega, Capcom, dan masih banyak lagi.
Perusahaan-perusahaan ini bekerja sama dengan JeSU sebagai penasehat atau konsultan, dan sekaligus berusaha untuk mendapatkan lisensi esports untuk pemain dan pelaksanaan turnamen dari judul game yang mereka buat.
Salah satu anggota JeSU yang sangat vokal dalam mengungkapkan dukungan dan kerja samanya itu datang dari Capcom. Setelah JeSU dibentuk, tidak lama kemudian Capcom mengumumkan bahwa mereka akan memperbesar komitmen mereka ke pasar esports di Jepang.
Capcom sudah membentuk Capcom Esports Club di Tokyo sebagai tempat berkumpul dan memicu tumbuhnya komunitas dari judul-judul video game mereka.
Street Fighter V adalah salah satu judul fighting game dari Capcom, yang masuk ke dalam Tokyo Game Show 2018, sebuah ajang yang menyediakan hadiah sebesar 90 ribu dolar (berkisar 1 milyar rupiah) serta memberikan lisensi kepada pemain lokal, sebagai bagian dari program Capcom Pro Tour.
Prestasi JeSU juga bisa terlihat di perayaan esports di Asian Games 2018. Asian Games menghadirkan 1 video game buatan Jepang, yaitu Pro Evolution Soccer 2018, dan pemenangnya pun datang dari tim Jepang yang dibentuk oleh komite seleksi JeSU.
Kesuksesan strategi mereka dalam Asian Games 2018 akan kembali dipakai di Asian Games 2022 mendatang di Hangzhou.
Akihito Furusawa menyampaikan, “Setelah kami berdiskusi dengan Asian Electronic Sports Federation dan Japanese Olympic Committee, kami telah membentuk tim baru yang bertugas untuk mendukung pemain dari Jepang untuk menembus babak qualifier. Selain itu, kami juga terus bekerja sama dengan beberapa pemegang brand video game untuk membahas implementasi dan strategi sebelum turnamen.”
Akihito juga menambahkan bahwa Fighting Game Community (FGC) sejak dulu sudah menjadi penopang utama bagi pertumbuhan esports di Jepang. Lebih lanjut, beliau juga mengatakan bahwa potensi esports di Jepang ini tidak hanya terletak pada satu genre ini saja.
“FGC sekarang menjadi senjata utama dari industri gaming Jepang, tapi ke depannya hal ini bisa jadi berubah secara drastis.” Beliau juga menambahkan, “komunitas konsol telah terbenam kuat dalam komunitas Jepang yang berasal dari Sony dan Nintendo. Kemudian masih banyak brand menarik lainnya yang ada di Jepang. Kami juga berencana untuk mempromosikan beberapa brand terkenal yang ada di Jepang, tidak hanya untuk dalam negara, tetapi ke seluruh dunia juga. ”
Sejak program lisensi esports mereka ini dijalankan, sekarang sudah ada 115 orang pemain dan 8 group yang sudah mendapatkan lisensi esports mereka dan secara legal terdaftar sebagai entitas esports profesional.
Kebanyakan lisensi esports mereka diberikan berdasarkan posisi mereka dalam perlombaan yang diawasi oleh JeSU. Beberapa titel yang sudah di daftarkan untuk lisensi esports ini seperti, Street Fighter V, Tekken 7, Pro Evolution Soccer 2018, Call of Duty: WWII, Rainbow Six Siege, Puyo Puyo, dan banyak titel lainnya.
Dewasa ini, JeSU mengumumkan hubungan kerja samanya dengan perusahaan Dentsu, sebuah perusahaan asal Jepang yang bergerak di bidang periklanan dan hubungan masyarakat dengan skala internasional.
Akihito menyebutkan Dentsu sebagai “perantara resmi JeSU untuk mempromosikan esports di Jepang.” sekarang JeSU sudah disponsori oleh beberapa perusahaan besar, salah satunya Au by KDDI, Suntory Holdings Limited, Lawson, Inc., BEAMS, dan Indeed Japan.
Program internasional
JeSU juga tidak membatasi diri mereka dengan programnya yang hanya membentuk komunitas esports di Jepang saja, mereka juga telah membuat kerja sama dengan beberapa entitas esports besar di luar negeri.
Saudi Arabia eSport Federation atau disingkat SAFEIS, adalah salah satu internasional partner utama JeSU yang telah bekerja sama untuk membuat beberapa seri turnamen yang memberikan hadiah dengan total sebesar 3,9 milyar rupiah (atau 270 ribu dollar).
Kedua negara ini pun sudah membentuk timnya masing-masing untuk turnamen Street Fighter V, Tekken 7, dan Pro Evolution Soccer 2019. Untuk lokasi turnamen, telah dikabarkan akan digelar secara bersamaan di 2 negara tersebut.
Akihito menyebutkan bahwa turnamen ini akan menjadi landasan utama, untuk mempererat kerja sama internasional di antara kedua negara tersebut.
“Turnamen esports bukan hanya sebatas pertandingan beradu gameplay, tetapi juga mempunyai banyak potensi pertandingan di area lain. Hal ini seharusnya mempunyai efek edukasi, memicu cultural exchange, mendorong pertumbuhan teknologi, ekonomi, kesehatan, dan banyak lagi. Pemerintah Jepang dan Saudi telah menyusun program ini dengan nama Saudi Japan Vision 2030, dan esports adalah media yang cocok untuk menjembatani kerja sama ini,” sahut Akihito.
Tantangan dan kritik
Walaupun JeSU mempunyai misi untuk mendorong pertumbuhan komunitas esports dan mendukung pemain baru untuk masuk ke babak turnamen esports, ada juga beberapa pihak yang mengkritik program kerja JeSU dalam mengejar misinya.
Yusuke Momochi, seorang pemain profesional dalam dunia fighting game di Jepang, mengkritik bagaimana komunitas gaming di Jepang hingga sekarang ini telah terbentuk secara alami berkat kerja sama oleh berbagai komunitas kecil dan pemain-pemain yang tersebar dari seluruh Jepang.
Ia menolak sistem komite seleksi JeSU yang hanya mengangkat beberapa orang di ruangan tertutup dan memberikan mereka kemampuan untuk menentukan siapa yang layak untuk mendapatkan siapa saja yang bisa menjadi wajah baru dalam dunia gaming di Jepang.
Pihak JeSU sendiri sadar terhadap kritik yang dilontarkan ke arah mereka, Akihito menganggap bahwa masalah yang dihadapi komunitas dan esports fans itu sama pentingnya dengan masalah yang dihadapi pemain yang mengikuti turnamen besar.
Dia juga menambahkan bagaimana JeSU telah memberikan dukungan besar kepada pemain profesional dengan program lisensi mereka sekaligus juga mendukung kerja sama antar pemain, tim, dan komunitas untuk mempromosikan esports di Jepang.
“Untuk menumbuhkan dunia esports, terutama di Jepang, aktor dalam tingkat profesional dan komunitas yang mendukung dibelakangnya juga harus berkembang secara bersamaan,” sahut Akihito.
Nah, itu dia pengenalan tentang JeSU, IeSPA-nya Jepang. Menurut kamu di Indonesia ada tidak sponsor yang bisa mengimbangi Sony dan Nintendo?
Ayo tulis komentar kamu di bawah ini.
(Disunting oleh Satya Kevino; Sumber: Esports Observer)