Global Esports Federation: Upaya Meregulasi Industri Yang Mungkin Tidak Bisa Diregulasi

1751
Global Esports Federation (GEF)
via Global Esports Federation

Setelah melihat keterlibatan esports di berbagai ajang olahraga multinasional, seperti SEA Games dan juga Asian Games; tidak mengherankan bila selanjutnya kita menantikan kemunculan esports di perhelatan Olympic Games (Olimpiade).

Pada bulan Desember silam, para penggerak Olympic Games dituntut untuk menyikapi perihal partisipasi video game dalam perlombaannya.

Dalam 8th Olympic Summit, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mendorong federasi olahraga untuk “mempertimbangkan cara meregulasi bentuk elektronik maupun virtual dari olahraga mereka,” dan “mengeksplorasi peluang bekerja sama dengan penerbit game.”

Sepuluh hari kemudian, muncul sebuah organisasi esports yang tampaknya ingin menjadi Suara dan Otoritas untuk Gerakan Esports di Seluruh Dunia, yaitu Global Esports Federation (GEF).

Sejak awal GEF berfokus pada regulasi, dengan harapan untuk memperkenalkan standar internasional yang lazim dalam olahraga tradisional, seperti komisi atlet/pemain, gerakan anti-doping, menjunjung praktik permainan yang adil, dan federasi nasional.

Persaingan antar organisasi esports?

Akan tetapi GEF bukanlah yang pertama untuk menjadi FIFA-nya esports. Sejak tahun 2000, sebuah organisasi yang berbasis di Korea Selatan, yaitu International eSports Federation (IeSF), telah lama berusaha mencari standar internasional dalam video game kompetitif.

Saat ini IeSF memiliki anggota federasi dari 56 negara, dan telah menyelenggarakan “Esports World Championships” tahunan, yang menghadirkan pesaing amatir.

Di tingkat benua, ada juga Asian Electronic Sports Federation (AESF), yang dibentuk pada 2017, dan dipimpin oleh Kenneth Fok, anggota kehormatan dari Komite Olimpiade Hong Kong. AESF mengatur demonstrasi cabor esports di Asian Games 2018, yang turut diikuti oleh Sang Raja Iblis Abadi dari Korea Selatan, yaitu Lee “Faker” Sang-hyeok.

Selain itu, organisasi tingkat benua lainnya, European Esports Federation, juga akan segera dibentuk. Walaupun organisasi-organisasi ini banyak tidak diketahui oleh masyarakat esports, mereka semua menunjukkan pengaruhnya di dalam dunia politik olahraga tradisional.

Sebagai contoh, Pendiri GEF, Chris Chan yang juga menjabat sebagai sekretaris jenderal dari Singapore National Olympic Council dan berperan dalam membentuk federasi esports di negaranya sendiri, turut mengirimkan atlet-atlet esports di SEA Games tahun lalu.

Global Esports Federation

Kami tidak bersaing dengan badan lain. Kami tahu IeSF dan beberapa lembaga lainnya. Bila kalian lihat orang-orang berada di lembaga GEF, kami semua adalah pemimpin dalam gerakan Olimpiade atau industri olahraga.”

Wakil presiden Global Esports Federation terdiri dari:

  • Wei Jizhong, mantan sekretaris jenderal dari Chinese Olympic Committee,
  • Charmaine Crooks, peserta Olimpiade dan pendiri NGU Consultants, dan
  • Cheng Wu, wakil presiden Tencent Holdings dan CEO Tencent Pictures.

Keterlibatan Cheng Wu di sini sangatlah penting karena Tencent Esports juga merupakan salah satu pendiri Federasi. Konglomerat Tiongkok ini telah menguasai sebagian besar ruang esports, termasuk di antaranya League of Legends dari Riot Games, Clash Royale dari Supercell, dan juga Fortnite dari Epic Games! Beberapa judul mobile esports ciptaannya sendiri: PUBG Mobile dan Honor of Kings.

Meskipun GEF memiliki dukungan dari penerbit esports, namun kekuasaan ini justru berpotensi juga menimbulkan konflik kepentingan.

Apakah GEF akan mengizinkan gim non-Tencent ke dalam kompetisinya?

Diperkirakan pada akhir tahun 2020, GEF akan mengadakan kompetisi pertamanya. “Tencent memiliki perusahaan game dan teknologi terbesar di dunia, dan akan membantu pertumbuhan, pendidikan, kebudayaan, dan teknologi olahraga,” kata Chan.

“Oleh karena itu, saya mengatakan bahwa tidak hanya game milik Tencent yang akan diikutkan dalam kejuaraan dunia yang kami persiapkan untuk akhir tahun ini.”

Nicolas Besombes, seorang associate professor untuk fakultas olahraga di University of Paris, dan juga seorang penasihat untuk konferensi tingkat tinggi (KTT) Olympic esports yang diadakan di Lausanne pada tahun 2018. Dia mengungkapkan bahwa kemunculan federasi baru hanya akan membuat kebingungan.

“Saya rasa penting bagi penerbit game untuk berpartisipasi dalam memperkuat industri ini, tetapi tidak sendirian,” katanya. “Dengan menyatukan semua pemangku kepentingan (pemain, tim, penyelenggara liga, penyiar, produsen, dan penerbit), kemajuan pasti akan terjadi.

Nicolas menambahkan bahwa kehadiran mereka yang berasal dari penggerak Olimpiade sangatlah bermanfaat, dan mampu meyakinkan para calon investor dan otoritas publik (olahraga atau lainnya).

“Saya mengagumi Charmaine Crooks; yang saya tahu dia tulus dan peduli dalam pendekatannya terhadap esports.”

GEF juga telah melibatkan berbagai figur-figur penting dalam kabinetnya, seperti para pejabat tinggi dari Panam Sports, A.C. Milan, dan World Taekwando. Chris Overholt, mantan CEO Canadian Olympic Committee, adalah seorang kepala komisi teknologi digital dan inovasi di Global Esports Federation.

Dalam esports, Overholt menjalankan OverActive Media, yang memiliki tim kompetitif di Call of Duty League, Overwatch League, dan League of Legends European Championship.

Dia mengatakan bahwa mandat seperti model FIFA bukan bagian dari visi GEF, dan peranannya lebih berorientasi pada “pemimpin yang melayani.” “Kita perlu mendapatkan hak itu, hak untuk menjadi suara bagi komunitas,” katanya.

“Seiring berjalannya waktu, rasa respek akan didapat di dalam komunitas yang ada para pemangku kepentingannya. Kamu harus bekerja berhari-hari, berminggu-minggu dengan komunitas dan anggotanya. Semua penggemar, gamer profesional, influencer, dan mereka yang bercita-cita tinggi. ”

Saat ini, esports tidak memiliki badan pemerintahan pusat. Lebih dari itu, bahkan tidak ada jaminan bahwa seseorang bisa eksis di dalamnya.

Kepemerintahan penerbit gim dalam ekosistem gimnya sendiri

Di saat perkembangan esports banyak yang berasal dari inisiatif komunitas, namun keuntungan dari perkembangan tersebut hanya menjadi kekayaan intelektual milik sang penerbit game. Fenomena seperti ini tentu tidak dijumpai di dunia olahraga tradisional.

Example of Esports Governing Structure
Credit: The Esports Observer

IOC dan berbagai kelompok olahraga nasional lainnya bersedia mengesampingkan kepentingan komersil untuk game simulasi olahraga, seperti FIFA dan NBA 2K yang merupakan perpaduan dari liga dan pemain berlisensi dengan mekanisme game yang telah dipatenkan.

Tantangan dalam meregulasi esports tidak terlalu berfokus pada game sebagai hiburan digital, melainkan pada definisi olahraga sendiri di abad ke-20 ini.

Hari ini esports masih tetap terdesentralisasi, sama halnya dengan olahraga yang berkembang atas popularitasnya sendiri, seperti mixed martial arts (MMA) dan skateboard.

Perkembangan mereka sebagian besar didorong oleh promotor melalui turnamen besarnya yang berasal dari entitas komersil, bukan nasional.

Esports yang terdiri dari berbagai judul game dan genre membuatnya memiliki persamaan dengan olahraga motor yang memiliki federasi berbeda tergantung pada teknologi yang digunakan.

Misalnya, Fédération Internationale de l”Automobile (FIA) yang mengatur sebagian besar acara otomotif berbasis mobil, termasuk Formula One, dengan beberapa pengecualian — terutama NASCAR.

Saat ini, sudah terdapat sebuah contoh bagaimana sebuah penerbit game berusaha untuk menguasai ekosistem esports-nya sendiri.

Riot Games membuat lisensi game League of Legends (LoL) agar bisa dipertandingkan di Asian Games 2018, namun tidak ada ruang bagi pihak eksternal untuk bisa merundingkan aturan dalam pelaksanaan pertandingan LoL baik itu di tingkat global maupun nasional.

League of Legends governance
Credit: The Esports Observer

Di sisi lain, penerbit gim Counter-Strike dan Dota 2, Valve, cenderung tidak tertarik untuk mengatur game-nya. Kompetisi-kompetisi ini sebagian besar dikelola oleh pihak ketiga, tanpa adanya organisasi pusat yang menyelaraskan kepentingan bisnis atau bahkan jadwal tahunan untuk kompetisi profesional.

Counter Strike governance
Credit: The Esports Observer

Impresi GEF di mata komunitas esports dunia

Terlepas dari hambatan ini, Chan menyatakan bahwa tujuan akhir Global Esports Federation adalah untuk membawa esports ke dalam cabor pertandingan Olimpiade.

“Orang-orang merasa was-was. Mereka mempertanyakan unsur olahraga dari esports. Mengapa ada begitu banyak kekerasan? Apakah ini permainan yang mengandalkan keberuntungan?” katanya.

“Saya pikir GEF dapat memberikan jawaban yang meyakinkan untuk semua pertanyaan ini, semua keraguan ini.”

Akan tetapi di tengah optimisme GEF untuk bisa meyakinkan publik, berita kemunculan GEF ke publik ini tidak mendapat banyak perhatian dari komunitas esports secara luas.

Pemain, komentator, dan tim owner di media sosial terus mengkritik kurangnya tokoh-tokoh esports dalam GEF. Rasa kepercayaan dari publik pun semakin memudar setelah video peluncuran federasi yang sebagian besar menampilkan cuplikan dari gim virtual reality (VR), dan tidak ada menampilkan satu pun judul esports populer.

“Penerimaan GEF di mata para pemangku kepentingan esports terdahulu telah dianggap buruk, dan itu memang benar,” kata Besombes. “Sulit untuk mengklaim mewakili esports global apalagi dengan menampilkan yoga di VR. Tampaknya tidak relevan dan di luar ranah.”

Di sisi lain, Chan hanya menertawakan kritik tersebut. Ia mengaku lebih peduli terhadap visi dan rencana organisasi. “Kami hanya ingin menumbuhkan olahraga, kami ingin memastikan bahwa kami menetapkan standar, pedoman, dan peraturan-peraturannya,” katanya memastikan bahwa cabor simulasi olahraga tidak akan menjadi satu-satunya gim yang ditampilkan di acara GEF.

“Secara pribadi, saya tidak menganjurkan terlalu banyak game kekerasan; hal ini dapat mendatangkan sinyal yang salah kepada anak-anak muda. Kami akan lebih menggalakkan game yang beradab,” katanya.

IOC telah berulang kali mengesampingkan game yang mengandung unsur kekerasan, seperti gim tembak-menembak baik yang bersifat militer maupun fantasi.

Kepengurusan Global Esports Federation tentunya memiliki anggota dengan latar belakang esports. Mereka adalah:

  • Ketua Singapore Esports Association, Ng Chong Geng,
  • CEO British Esports Association, Chester King, dan
  • Ketua Singapore Cybersports and Online Gaming Association (SCOGA), Nicholas Aaron Khoo.

Khoo mengatakan bahwa, di tingkat komisi, ada hampir 50 orang yang terlibat dengan GEF, dimana banyak pengetahuan mengenai industri esports ini akan disalurkan.

Setelah bekerja di sektor esports dan olahraga di Singapura, ia merasa ada banyak hal yang dapat dipelajari dari tata kelola olahraga, tanpa bulat-bulat mencoteknya.

“Dikarenakan kita memiliki game publisher yang dapat membuat aturan untuk intellectual property (re: gim buatan) mereka sendiri, jika mereka tidak ingin diatur hingga adanya regulator yang ambil andil seperti di China, maka itu akan sulit,” katanya.

“Bagi saya, GEF menunjukkan kesempatan akan cara-cara yang berbeda untuk melakukan pendekatan esports.”

GEF menyatakan bahwa mereka terbuka untuk siapa saja dan semua anggota, tetapi jika organisasi tersebut serius tentang keterlibatan Olimpiade, maka hal ini akan memberi perhatian khusus.

Setelah diatur oleh komite Olimpiade nasional, sebuah federasi harus patuh di berbagai area. Perlu diingat bahwa baik Commonwealth Federation dan Pesta Olahraga Amerika juga membahas prospek esports.

Politik dalam olahraga itu nyata, dan saya pikir ada beberapa posisi yang baik di GEF yang dapat membantu pembicaraan itu seiring berjalannya waktu,” kata Overholt.

“Bukan kewajiban federasi untuk memainkan peran dalam mengembangkan esports sebagai olahraga di Olimpiade, akan tetapi kita harus melakukannya selagi ada momentum IOC untuk menyuarakannya di meja itu.”


(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah dimodifikasi oleh penulis sesuai dengan standar editorial Esportsnesia; Disunting oleh Satya Kevino; Sumber: The Esports Observer)

banner iklan esportsnesia