Esports, barangkali di telinga masyarakat awam masih belum populer. Kita lihat saja bagaimana persepsi masyarakat Indonesia terhadap game online. Untuk saat ini, masih banyak orang tua yang berusaha ‘menghindarkan’ anaknya dari hobi yang namanya game online.
Lantas, bagaimana dengan negara lain menanggapi game online ini? Mari kita ambil contoh dari Korea Selatan. Negara ini sudah diibaratkan sebagai ‘rumah’nya esports.
Berawal dari sebuah hobi, berlanjut menjadi sebuah mata pencaharian.
Di negara itu juga para pegiat esports diberikan fasilitas dan dukungan dari pemerintahnya sendiri, seperti dari Chung Ang University, dimana esports diikutsertakan sebagai bagian dari fakultas olahraga.
Korea Selatan memang dikenal sebagai negara yang seringkali menyelenggarakan turnamen-turnamen esports berkelas internasional. Dalam ajang kompetisi nasional atau internasional, para atlet esports dari Korea dikenal dengan kemampuan mereka yang apik dalam judul esports StarCraft 2, Defense of the Ancients 2 (DotA 2), dan League of Legends (LoL).
Di balik pencapaian Korea di tanah esports, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa ada sebuah organisasi yang memayungi mereka yang berhasrat untuk menjadi atlet esports di negeri ginseng tersebut. Korea e-Sports Association atau biasa dikenal dengan KeSPA, telah berdiri sejak tahun 2000 lalu.
Badan yang berada di bawah naungan Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan ini sering mengadakan turnamen-turnamen untuk melatih kemampuan para atlet esports agar siap bertarung di kancah internasional. KeSPA sendiri hingga saat ini mengelola lebih dari 20 cabang permainan esports di negara tersebut.
Apa yang membedakan antara Indonesia dengan Korea Selatan?
Indonesia sendiri juga memiliki wadah yang sama seperti KeSPA. IeSPA, atau Indonesia e-Sports Association adalah sebuah wadah penampung aspirasi para pegiat esports tanah air. Di bawah naungan Kemenpora dan FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia) selaku induk organisasi, IeSPA juga mengharapkan lahirnya pemain-pemain baru yang mampu mengibarkan merah putih di kancah internasional.
Kita mengenal beberapa atlet esports tanah air, seperti BnTeT dan xccurate, yang sekarang bermain di tim asal Tiongkok – TyLoo untuk divisi CS:GO. InYourdreaM, barangkali untuk pecandu DotA 2 sudah tak asing lagi namanya, pemuda yang bernama asli Muhammad Rizky ini telah beberapa kali memuncaki daftar sebagai salah satu pemain DotA 2 yang kualitas bermainnya layak dipertimbangkan.
Bagaimana dengan lanskap esports Indonesia saat ini?
Melihat tren perkembangan esports yang semakin hari semakin marak, sudah saatnya kondisi esports di Indonesia bergerak maju. Dibutuhkan banyak gebrakan-gebrakan dari pemerintah agar ekosistem esports di negeri ini bisa sama baiknya dengan ekosistem negeri ginseng.
Indonesia Games Champhionship 2018 dan Kratingdaeng Indonesia eSports Champhionship 2018 adalah 2 dari turnamen esports di Indonesia yang berskala besar yang harapan ke depannya diadakan setiap tahun.
Jumlah komunitas esports yang ada di Indonesia juga terus mengalami peningkatan seiring bertambahnya eksposur masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan esports. Belum lagi, Asian Games 2018 yang baru saja selesai diselenggarakan di Indonesia sudah mulai melirik ranah esports.
Bergerak dari tren esports yang berkembang di Indonesia, apakah berprofesi sebagai atlet esports sudah dapat dijadikan karir? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Belajar dari Korea
Pada akhir tahun 1990-an, di saat krisis moneter melanda beberapa Negara di Asia, pemerintahan Korea justru tidak tanggung-tanggung mengalokasikan dana untuk membangun jaringan internet nasional berkecepatan tinggi saat itu. Pembangunan infrastruktur interkoneksi itulah yang menjadi awal mulanya kepopuleran online game yang kini telah berevolusi menjadi esports.
KeSPA yang saat ini diketuai oleh Jeon Byeong-Heon, sangat mendukung kesejahteraan para gamer Korea. Asosiasi ini sering dipuji atas perannya dalam melegitimasi esports. Para gamer tersebut kini sudah diakui sebagai atlet esports yang memiliki gaji dan kontrak layaknya tenaga kerja profesional.
Di samping itu, KeSPA juga turut memberikan kontribusi kepada perekonomian Korea. Departemen Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata ini juga mendapatkan keuntungan besar dari tren esports. Bayangkan saja, kompetisi esports dunia yang saat itu diadakan di Korea Selatan turut mengundang sponsor-sponsor ternama. Tercatat pada tahun 2000, Samsung dan Microsoft mensponsori World Cyber Games (WCG) yang dianggap sebagai olimpiade online game.
Tidak hanya berhenti pada pembangunan KeSPA, pemerintah Korea juga mendukung esports untuk menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Bagaimana tidak, beberapa sekolah di Korea Selatan bahkan menyediakan PC khusus untuk murid-muridnya agar bisa bermain online sehabis pulang sekolah.
Contohnya seperti Ahyeon Polytechnic High School, sekolah pertama di Korea Selatan yang mempunyai tim League of Legends. Selain itu, Universitas Chung-Ang juga menerima para pemain esports untuk berkuliah dan terdaftar di departemen Ilmu Olahraga.
Tercatat pada tahun 2016, sekitar 25.3 juta orang bermain online game di Korea Selatan, yang artinya sudah mencakup 50% populasi penduduk negara gingseng tersebut. Korea Selatan juga telah menjadi negara dengan pasar game terbesar kelima di dunia, dan ketiga terbesar di Asia Pasifik, setelah Tiongkok dan Jepang.
KeSPA juga masih memiliki pekerjaan rumah
Meskipun banyak pencapaian yang telah diraih oleh KeSPA, perkembangannya pun tidak selalu mulus. Pemberitaan negatif terhadap Jeon Byeong-Heon tentang skandal penyuapan, penggelapan dana, penyalahgunaan kekuasaan penerimaan dana politik ilegal, dan isu lainnya turut mencederai citra esports Korea di dunia internasional.
Skandal tersebut kini menjadi proses penyelidikan yang masih berlangsung demi mengungkap kebenaran dalam penyalahgunaan dana yang diberikan kepada KeSPA.
Selain skandal yang dilakukan oleh pejabatnya, ekosistem esports di dunia juga memerlukan sebuah badan yang dapat memberikan keadilan bagi mereka yang berkecimpung di industri ini. Melihat kepada tahun 2013 silam di Korea, terdapat isu fixed matches (pertandingan yang diskenariokan) pada OnGameNet Champions Spring 2013, dimana salah seorang anggota tim, Cheon-Min-Ki, diberitahukan untuk kalah pada pertandingan tersebut demi suatu transaksi ilegal yang berujung pada kasus penipuan.
Akhir kata
Kecurangan bisa terjadi dimana saja jika ada peluang, namun hal itu bukanlah menjadi halangan untuk para komunitas esports di dunia, dan juga IeSPA dalam mengembangkan esports di Indonesia. Dengan sedikit banyaknya mengambil pembelajaran dari KeSPA, IeSPA tentu dapat menavigasikan dirinya untuk tidak turut terjerumus ke dalam dunia gelap tersebut.
(Disunting oleh Satya Kevino)
Referensi: Polygon