Membujuk para penggemar esports untuk membeli produk yang dipromosikan adalah sebuah hal yang susah-susah gampang bagi setiap pelaku pemasaran dan entitas esports. Para penggemar esports cenderung memiliki “anggaran” yang bisa dibelanjakan, namun tidak banyak yang terarahkan ke produk yang diiklankan oleh entitas esports.
Perilaku pecinta esports yang rela belanja in-game items merupakan sebuah bukti pendukung bahwa peminat esports memiliki daya belanja, namun harus sesuai dengan minat dan ketertarikan mereka. Sebagai contoh, mereka tidak segan untuk memberikan donasi kepada para content creator atau streamer sebagai wujud dukungan dan apresiasi mereka.
Di sisi lain, bagi para pebisnis yang berusaha menciptakan permintaan melalui sarana periklanan, pendekatan ini menjadi sangat menantang mengingat banyaknya anggota komunitas esports yang menggunakan aplikasi penghalang iklan, seperti adblock. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok ini tidak reseptif terhadap iklan dari berbagai merek terkenal sekalipun.
Meskipun begitu, masih ada peluang emas bagi perusahaan yang bersedia memikirkan kembali strategi penempatan iklan mereka. Ada beberapa contoh keberhasilan gemilang oleh mereka yang telah melaksanakan pendekatan strategis ketimbang memikirkan berbagai kolom iklan yang tersedia.
Pada dasarnya, yang perlu diperhatikan adalah persoalan relevansi dan kemudian diaplikasikan baik pada konten maupun penempatan.
Relevansi adalah kunci dari semua iklan digital
Masalah yang dihadapi oleh industri esports sebagian kecil berasal dari isu yang dihadapi oleh dunia periklanan daring secara umum. Esensi dari periklanan online manapun adalah para peminat akan dibombardir dengan iklan tanpa melihat apakah konten atau penempatannya relevan dengan peminat yang dimaksud.
Konsekuensinya, antara 22 hingga 24 persen dari total pengguna internet di negara barat seperti Amerika dan Inggris menggunakan adblock. Kondisi buruk juga dihadapi oleh periklan di industri esports, dimana sebanyak 63 persen dari para penggemar menggunakan adblock.
Serangkaian keluhan atas iklan online tersebut dapat dilihat dari tabel eMarketer.com berikut.
Statistik pada tabel di atas menunjukkan kurangnya pendekatan yang seimbang atas apa yang dilakukan oleh pemasar (marketer) secara umum dalam menggunakan wadah periklanan digital, namun perlu diperhatikan pada bahwa sebenarnya peletakan ruang iklan itu sendiri lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang konten yang diiklankan.
Sementara poin pertama dalam tabel jelas terkait dengan konten, enam dari delapan keluhan teratas berkaitan dengan format penayangan iklan. Ada begitu banyak iklan, dimana semua ada dihadapan kita dan muncul untuk menghalangi apa yang pengguna ingin dapatkan. Penempatan tersebut akan membuat iklan menjadi tidak relevan meskipun kontennya amat menarik peminat.
Hal ini adalah pemahaman krusial yang seringkali diabaikan ketika mempertimbangkan permintaan yang digeneralisasikan dari peminat esports yang cerdas. Pesan yang ada dalam iklan menjadi tidak tersampaikan bila penempatannya salah.
Platform esports sendiri juga tidak kebal terhadap adblock
Twitch, platform streaming para gamer, juga tidak kebal terhadap adblock. Ada 2 cara yang bisa dilakukan: memfungsikan adblocking melalui platform Twitch, serta menyembunyikan iklan bila menggunakan Chrome, Firefox atau Edge sebagai aplikasi penelusur internet.
Menyembunyikan iklan adalah sebuah bencana bagi pengiklan karena iklan yang disembunyikan oleh pengguna akan tetap ditagih oleh platform iklan tersebut.
Menariknya, perincian pendapatan Twitch memberikan gambaran tentang solusi mengimbangi masalah format iklan ini. Dari pendapatan sebesar $1,54 miliar yang diperoleh Twitch pada tahun 2019, hanya $300 juta yang berasal dari pendapatan iklan.
Sisanya diperoleh dari pendapatan atas jasa langganan dan sebagian dari pendapatan tersebut diberikan kepada influencer. Ada lebih banyak uang yang dihasilkan “produksi internal” ketimbang eksternal.
Pemasangan iklan juga memberikan petunjuk kuat tentang bagaimana mendapatkan keterlibatan pengguna. Penempatan produk yang cerdas dan interaksi dengan penyedia konten menjadi kunci untuk menciptakan relevansi serta kesediaan pengguna untuk membuka dompetnya.
Penempatan produk dan memanfaatkan budaya gaya hidup
Studi psikologi telah membuktikan bahwa dalam pengaturan yang lebih tradisional seperti pada film-film di televisi, penempatan produk yang tepat dapat melekat dalam ingatan dua kali lebih efektif ketimbang menggunakan tayangan iklan televisi.
Hal ini dikarenakan penonton berkonsentrasi pada konten penempatan produk, sementara perhatiannya seringkali terganggu atau sama sekali tidak tertarik saat iklan televisi muncul.
Fenomena ini semakin berlebihan terjadi di dunia esports. Merek memiliki eksposur dan fleksibilitas yang jauh lebih besar melalui kerja sama dengan penyelenggara turnamen dan produser acara, yang memungkinkan aktivasi unik untuk benar-benar menarik perhatian penonton.
Formatnya jauh dari kata jenuh karena belum banyak kelompok yang berinvestasi pada bidang ini. Namun, mereka yang telah memanfaatkan penempatan produk telah membuat terobosan signifikan ke peminat esports.
Mercedes-Benz, Nike, dan Redbull adalah contoh brand yang telah menunjukkan strategi penempatan produk yang sukses.
Berkaca pada kemitraan Mercedes dengan ESL dimana awalnya banyak yang beranggapan sulit untuk menghubungkan brand otomotif dengan esports. Pendekatan yang dilakukan adalah mengapresiasi sang MVP (most valuable player) di turnamen ESL One (berdasarkan hasil voting fans) dengan sebuah mobil Mercedes-Benz senilai €50.000 untuk memposisikan dirinya dengan para penggemar.
Upaya ini menjadi sangat relevan karena:
- Menghargai permainan hebat adalah sebuah nilai yang besar dan mengakar kuat dari komunitas esports, dan selaras dengan budaya donasi yang berkembang di esports,
- Meminta penggemar untuk memberikan suara pada penentuan MVP menunjukkan apresiasi yang berlandaskan kerendahan hati, yaitu pengakuan bahwa penggemar adalah pakar untuk urusan tersebut, bukan Mercedes-Benz,
- Produk yang bernilai tinggi dan layak untuk dimenangkan, sehingga kehadirannya di acara tersebut meningkatkan pamor tontonan tersebut.
Iklan lanjutan Mercedes-Benz yang bercerita tentang pemenang MVP yang mengendarai mobilnya langsung otentik di mata komunitas karena secara langsung merujuk pada kontribusi Mercedes-Benz untuk esports.
Meskipun masih terlalu dini untuk mengetahui dampak keseluruhan dari pendekatan ini, indikator awal ini sudah bagus. Misalnya, Mercedes A-Class berhasil menggulingkan Volkswagon sebagai lini mobil teratas di Inggris – dengan konsumen rata-rata berusia 25-34 tahun dan laki-laki.
Kontribusi pencapaian tadi memang belum tentu sepenuhnya berkaitan langsung dengan kampanye esports Mercedes-Benz; Namun, besar kemungkinannya berasal dari peminat esports bila memperhatikan demografinya.
Tulisan ini bukan untuk mengatakan bahwa sarana iklan berupa digital banner tidaklah efektif, hanya saja sarana beriklan tersebut bukanlah cara terbaik untuk mendapatkan engagement dengan para peminat esports.
Banyak brand yang mengarah ke pendekatan ini atas saran yang diberikan oleh agensi media yang seringkali hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari pembelian transaksional dari jenis iklan tersebut.
Mereka juga memiliki celah besar dalam kapasitas pemahaman industri esports. Dampaknya, seringkali mereka tidak berada dalam posisi untuk memberi nilai tambah pada kolaborasi antara penyelenggara acara dengan brand, serta sulit bagi mereka untuk mendapatkan margin yang signifikan pada area yang bukan merupakan fokus penawaran mereka.
Brand yang memiliki hubungan dengan mitra esports cenderung lebih berhasil. Penawaran yang dapat mereka buat dengan penyelenggara turnamen, penerbit, dan produser memotong keriuhan iklan dan jauh lebih relevan bagi para audiens.
Mereka juga akan terhindar dari perangkap “uji coba” yang ujungnya membuat mereka dianggap amatir dalam industri ini.
Saat ini masih ada ruang bagi para pendatang baru di industri ini untuk mengadopsi model pemasaran berbasis aktivasi dengan harga yang lebih terjangkau, terutama karena persaingan terbatas pada era pandemi COVID yang telah mempengaruhi anggaran pemasaran, serta adaptasi acara offline menjadi online.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah dimodifikasi oleh penulis sesuai dengan standar editorial Esportsnesia; Disunting oleh Satya Kevino; Sumber: Esports Insider)