Refleksi Artifact: Bermula Hype Berakhir Dead Game

1726
Artifact Prelude

Siapa yang masih familiar dengan Artifact atau game kartu ala Dota 2? Gim yang pamornya pernah melambung di awal peluncurannya ini ternyata mengalami perjalanan yang tragis dalam pengembangannya. Tulisan kali ini akan merenungkan nasib Artifact yang telah menjadi “dead game”.

Pada masa awal rilisnya di November 2018, gim bergenre collectible card game (CCG) ini menunjukkan prospek masa depan yang cerah. Bagaimana tidak? Dengan rancangan gameplay yang cerdas dan unik, serta dikembangkan langsung oleh Valve, sang pionir ekosistem esports; rasanya mustahil bila gim ini tidak populer.

Namun, tidak disangka-sangka, Artifact ternyata tidak mampu memenuhi ekspektasi dan harapan para pengembang dan juga pemainnya. Dalam kurun waktu 2 bulan setelah ia diluncurkan ke publik, ia mengalami penurunan jumlah pemain yang sangat drastis. Tepatnya, 95%!

Hingga hari ini, Artifact memiliki kurang dari seribu pemain aktif per harinya. Akan tetapi, Valve juga tidak tinggal diam melihat gim besutannya menuju jurang kehancuran. Di tahun ini, Valve telah merencanakan sebuah kejutan untuk menyambut Artifact 2.0.

Sebelum melihat Artifact yang baru, mari kita pelajari penyebab kegagalan Artifact ini.

Tahun pertama Artifact

Artifact memiliki segala macam fitur yang bisa kita harapkan dari sebuah gim baru esports. Mulai dari tahap closed beta khusus para pemain profesional, tim-tim esports profesional yang sangat antusias untuk turut bergabung, hingga pengalaman sang pengembang Dota 2 yang sudah sangat mapan.

Sebagai penerbit, Valve menjalankan salah satu platform game terbesar di dunia; platform distribusi digital Steam memiliki puluhan juta pengguna harian, dengan koleksi gim sebanyak 30.000 judul.

Tidak hanya itu, Steam juga menjalankan 2 judul esports yang cukup sukses, yaitu Counter Strike: Global Offensive (CS:GO) dan Dota 2, yang secara konsisten menyajikan jenjang karir bagi para pemain profesionalnya.

Artifact Screenshot

Melihat latar belakang Valve ini, ditambah dengan pengumumannya untuk mengadakan turnamen dengan hadiah 1 juta dolar layaknya The International di awal tahun 2019, hanya sedikit yang pihak yang terkejut. Respon media juga cukup positif menyambut kehadiran Artifact ini.

Melihat semuanya berjalan dengan baik, Valve lebih jauh meningkatkan antusiasnya dengan meluncurkan 2 webcomic yang menghubungkan cerita Artifact ke semesta Dota 2.

Valve juga menghubungkan layanan Dota 2 ke Artifact dengan memberikan secara gratis fitur Dota Plus selama 1 bulan untuk para pemain Artifact.

Tidak lupa, Valve juga mengucurkan sepuluh ribu dolar untuk ekshibisi turnamen di masa-masa sebelum perilisannya.

Setelah euforia tersebut selesai, dalam waktu 1 hari pertama peluncurannya Artifact hanya mampu mendapatkan 60 ribu pemain di puncak 1 harinya. Sangat berbeda dengan Dota 2 yang secara harian bisa mencapai 400 ribu pemain.

Menurut SteamCharts, dalam rentang waktu sebulan, jumlah pemain tersebut terus merosot hingga kurang dari 10 ribu pemain per harinya, dan di bulan Februari angka tersebut semakin menurun hingga menjadi kurang dari seribu pemain.

statistik Artifact
Sumber: The Esports Observer

Tidak lama setelahnya, hampir tidak ada berita baru datang dari Artifact. Ekosistem esports yang diambisikan oleh Valve juga mulai kehilangan semangatnya. Turnamen berhadiah 1 juta dolar tersebut sudah tidak terdengar lagi kabarnya.

Begitu pula dengan kabar dari roster tim Artifact, beberapa tim sudah membubarkan divisi ini. Di masa gelap ini, sumber berita dari Valve hanyalah dari blognya saja.

Tepat di 29 Maret 2019, Valve menceritakan refleksinya atas perjalanan Artifact, serta secara kabur mengumumkan untuk merancang ulang gim ini.

Tindakan yang benar adalah mengambil langkah yang lebih besar, untuk mengkaji ulang keputusan yang sudah dibuat sejauh ini mengenai rancangan game, sistem ekonomi, pengalaman sosial, dan banyak lagi… Ke depannya, kami akan fokus menyelesaikan masalah yang lebih besar daripada merilis update.

Pesan tersebut menandakan bahwa jumlah pemain di saat itu sudah sangat sedikit, dan bahkan tidak menjamin Artifact bisa bertahan untuk mendatangkan pemain baru melalui update-nya.

Artifact screenshot

Ada apa dengan Artifact?

Ada 3 faktor utama yang berkontribusi terhadap kegagalan Artifact: model bisnis, kompetitor, dan ulasan yang buruk.

Model bisnis Artifact

Model bisnisnya sudah bisa dilihat di masa awal peluncurannya menghiasi Steam. Berbeda dengan judul-judul bergenre collectible card game lainnya (CCG) di esports yang umumnya menawarkan pengalaman free to play, Valve justru membuatnya berbayar.

Dibanderol dengan harga 20 dolar, sang CEO Valve, Gabe Newell dalam wawancaranya pernah memberikan penjelasan terhadap hal ini.

Jika waktu bermainnya gratis, atau akunnya gratis, atau kartunya gratis, maka apapun yang memiliki hubungan matematis dengan hal–hal tersebut pada akhirnya akan menyebabkan devaluasi dari waktu ke waktu, dan kamu hanya membuat orang-orang menghabiskan ribuan jamnya untuk suatu hal yang kecil dan minor dari nilai aset suatu kartu atau apapun itu.

Valve tidak sendirian dalam menerbitkan sebuah judul esports eksklusif berbayar. Blizzard Entertainment yang merilis Overwatch pada tahun 2016 juga memiliki model bisnis yang serupa dengan Artifact. Bedanya,Overwatch berhasil dan mampu mencapai angka 40 juta pemain.

Namun demikian, hal yang bisa kita pelajari tentunya adalah pasar belum siap untuk menerima gim berbayar untuk genre CCG.

Bila ditelaah perbedaan Overwatch dengan Artifact, Overwatch adalah sebuah gim bergenre first person shooter (FPS) yang memiliki banyak konten menarik, serta lengkap dengan berbagai karakter yang bisa dimainkan langsung.

Sementara itu Artifact justru hanya dirilis dengan 228 buah kartu. Sebuah koleksi lengkap masih membutuhkan ratusan kartu lagi yang hanya bisa dibeli melalui in-game purchase.

Mungkin permasalahan utama dari Artifact terletak pada gebrakan tidak senada dengan judul-judul populer Steam, seperti Dota 2 dan CS:GO. Dota 2 bersifat free to play sejak awal, dan CS:GO kini juga menjadi free to play dari yang awalnya berbayar.

Bukannya mengikuti pola yang inklusif, Artifact malah bersifat eksklusif.

Artifact webcomic
Webcomic Artifact

Kompetitor Artifact

Faktor lain yang menyebabkan Artifact menjadi dead game adalah 2 judul saingannya yang tidak terduga, yaitu: Magic: the Gathering Arena dan Dota Auto Chess (kini menjadi Auto Chess).

Magic: the Gathering Arena

Sesungguhnya Artifact tidaklah kalah dengan Arena yang pertama kali diumumkan pada tahun 2017. Yang tidak terantisipasi adalah banyaknya pujian tinggi yang diterima Arena.

Inovasi yang dibawakan Arena cukuplah visioner dengan membawa permainan kartu fisik ke dunia digital.

Banyak yang awalnya menduga bahwa ini akan gagal, namun yang terjadi justru sebaliknya. Arena pun menjadi gim pionir yang memprakarsai kesuksesan konversi game kartu fisik menjadi elektronik.

Selain itu, Arena juga memenangkan label penghargaan sebagai rising esports nomor satu di dunia. Dan yang terakhir, Arena juga sedang membangun ekosistem esports miliknya sendiri dengan mengadakan turnamen esports berhadiah 1 juta dolar juga.

Artifact screenshot

Dota Auto Chess

Saingan Artifact tidak hanya berasal dari genre permainan kartu, tetapi juga dari genre esports yang lain, seperti genre auto battler.

Dota Auto Chess (DAC) adalah sebuah mini game yang lahir dari Dota 2, dan dikembangkan oleh Big Drodo Studio. Dirilis pada 4 Januari 2019, gim ini berkembang dengan sangat cepat. Jumlah pemain hariannya juga mencapai angka jutaan.

Gim ini kemudian juga berhasil menjalin hubungan kemitraan dengan ImbaTV dan Long Mobile yang berhasil membawa gim ini dari PC ke platform yang lebih ramai, yaitu mobile esports. Memiliki ambisi yang sama seperti gim esports pada umumnya, Auto Chess pun sudah meluncurkan liga esports-nya.

Di hal ini, DAC merupakan tandingan Artifact yang sangat berat. Pertama, DAC tersedia secara gratis, bisa diakses melalui Steam, dan memiliki nuansa yang sama dengan Dota 2 dan Artifact. DAC juga menampilkan banyak karakter Dota, dan bukan sebuah permainan kartu.

Terlebih lagi, DAC memiliki persamaan dengan Artifact melalui unsur penyusunan strateginya. Dari elemen-elemen tersebut, DAC berhasil menarik perhatian para calon pemain Artifact.

Artifact Screenshot

Ulasan negatif Artifact

Faktor terakhir yang membuat Artifact menjadi dead game ternyata berasal dari komunitas game yang memberikan banyak tanggapan negatif. Tercatat, Artifact sudah memiliki lebih dari 20.000 review di Steam yang mayoritas bernada negatif.

Sejak awal, Artifact memiliki sebuah ambisi untuk membangun sebuah gim yang memungkinkan para pemainnya untuk bisa saling bertukar kartu (atau jual beli kartu), menggunakan Steam marketplace.

Ide yang digagaskan ini menyerupai toko fisik lokal yang menjual kartu-kartu fisik. Apa yang membuatnya berbeda dari toko fisik tersebut adalah Artifact tidak mengizinkan pertukaran kartu tersebut dilakukan secara sederhana.

Bila saat ini para pemain bertukar kartu fisik, mereka bisa melakukannya dengan sangat santai. Semudah membuang kartu yang tidak diinginkan dan membeli kartu yang diinginkan. Sebenarnya hal ini juga bisa dilakukan di Artifact.

Hal yang tidak disukai pemain adalah ketika Artifact telah menyisipkan nilai uang ke dalam nilai sebuah kartu, maka ketika pertukaran kartu itu terjadi, para pemain harus memposisikan dirinya sebagai pedagang dan memperhitungkan keuntungan yang didapat.

Kartu dipandang menjadi sebuah komoditas dan setiap perubahan pada deck kartu untuk disesuaikan dengan strategimu, harus dibayar dengan harga.

Artifact screenshot

Poin terburuk dari perdagangan kartu ini adalah adanya biaya tambahan dari Valve untuk setiap transaksi yang terjadi. Valve mengambil keuntungan atas setiap penjualan.

Dengan tidak adanya cara untuk menukar kartu di toko fisik, dan tidak ada cara untuk bisa mendapatkan kartu gratis seperti game CCG lain pada umumnya, pemain Artifact harus dihadapkan pada sebuah dilema.

Mereka pun harus memilih untuk menikmati gameplay fantastis dengan tambahan biaya, atau berpindah hati ke gim yang lain.

Sayangnya, untuk hal ini, para pemain justru lebih memilih untuk meninggalkan Artifact.

Penutup

Saat ini, Valve tengah menyiapkan Artifact 2.0 yang kabarnya akan dirilis tahun ini. Sebelumnya Valve telah menyadari untuk melakukan perbaikan pada model bisnis jangka panjangnya.

Versi Artifact saat ini jelas adalah sebuah pelajaran berharga bagi semua pengembang esports. Model bisnis yang berkelanjutan, kompetitor yang bisa datang dari arah mana saja, dan gaming experience yang lebih penting daripada gameplay, merupakan pelajaran yang bisa dipetik dari sini.

Bahkan Valve yang menyandang status level pengembang raksasa sekalipun tidak bisa lepas dari potensi kegagalan ini.

Artifact screenshot

Selain itu, tim-tim profesional esports yang menaruh harapan pada Artifact juga perlu merenungkan kembali metode pengambilan keputusan tersebut. Gameplay mewah dari sebuah gim saja tidak bisa dijadikan sebagai sebuah acuan.

Seyogyanya mereka juga harus mengetahui bagaimana game tersebut disambut oleh para pemainnya. Pada akhirnya, sebuah game tentu membutuhkan pemain, dan gim yang bersifat kompetitif tentu memerlukan lebih banyak pemain.


(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah dimodifikasi oleh penulis sesuai dengan standar editorial Esportsnesia; Disunting oleh Satya Kevino; Sumber: The Esports Observer)